Sejarah Gunung Tambora, Letusan Dahsyat Dua Abad Silam

Gunung Tambora di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat meletus dengan sangat dahsyat pada 10 April 1815. Bahkan jauh lebih dahsyat dari letusan gunung Krakatau tahun 1883. Efek Tambora juga mempengaruhi pertanian di seluruh dunia. Sangat dahsyat!

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Ketika Majapahit jatuh, kerajaan-kerajaan di Sumbawa menjadi negeri-negeri mandiri yang selanjutnya berada di bawah pengaruh Kesultanan Gowa-Tallo di Makassar pada abad ke-17.

“Negeri ini berada di bawah penguasaan Makassar, khususnya dipimpin oleh para pangeran,” tulis Sonny.

Sejak itu, Tambora diwajibkan membayar upeti dan menyediakan 40 budak. Demikian pula Pekat, pelabuhan yang sebelumnya di bawah Dompu.

- Advertisement -

“Ketika Raja Rigaukanna atau Ala’uddin dari Goa menundukkan Sumbawa, Pekat diserahkan kepada Karaeng Maroanging. Rajanya selain harus memasok 20 budak ke Makassar, juga membayar upeti dengan tenun kain yang mereka buat,” tulis Sonny.

Hubungan perdagangan dengan Pulau Jawa dan kawasan barat Nusantara terus berlangsung meskipun Majapahit tak lagi berpengaruh. Pelaut Portugis, Tome Pires dalam Suma Oriental,  menyebut kapal-kapal dari Malaka dan Jawa yang berlayar ke Maluku untuk mencari rempah-rempah singgah di Bima. Mereka berdagang, mengambil air minum dan bahan makanan.

Hubungan pelayaran-perdagangan itu menjadikan Bima salah satu bandar terpenting di kawasan Nusa Tenggara, kendati sudah terjadi sejak era Majapahit. Lokasi bandarnya di Teluk Sape dan Teluk Bima.

- Advertisement -
Sejarah Gunung Tambora
Sejarah Gunung Tambora. INT

Pada masa berikutnya, Bima berkembang menjadi pusat penyiaran Islam berkat letak geografisnya yang merupakan jalur lintas perdagangan. Keadaan itu juga membawa keberuntungan bagi Tambora, Pekat, dan Sanggar. Suplai komoditas dari kerajaan-kerajaan kecil itu ke Bima semakin lancar.

“Ketiga kerajaan kecil ini mempunyai akses ke jalur lintas laut yang selalu dilalui para pedagang dari luar apabila menuju bandar Bima,” tulis I Made Geria. “Kerajaan di sekitar Bima memiliki peran strategis yang mendukung perdagangan Bima.”

Kerajaan Tambora bahkan berdagang langsung dengan Kerajaan Makassar. Hubungan kedua kerajaan itu dibuktikan oleh surat-menyurat.

- Advertisement -

Selain kaya sumber daya alam, wilayah Tambora juga strategis. Peta tahun 1659 koleksi KITLV menunjukkan wilayah raja (koningrijk) Tambora berada di bagian utara, wilayah yang lebih besar, di Semenanjung Sanggar. Sementara itu, bagian selatan Semenanjung Sanggar merupakan wilayah raja (koningrijk) Pekat.

Baca Juga :  Rinjani, Perjalanan Menembus Awan

Lokasi Tambora berdekatan dengan Labuhan Kenanga dan Teluk Saleh. Karenanya ia termasuk jalur lintas perdagangan yang ramai disinggahi kapal asing.

“Karena ramainya jalur pelayaran di wilayah sekitarnya seperti pantai Kore, Sanggar, sering terjadi peristiwa serangan bajak laut,” tulis I Made Geria.

Potensi Tambora yang kaya sumber daya alam dan signifikan dalam perdagangan juga tak luput dari penguasaan bangsa Belanda, dari awal abad ke-17 sampai awal abad ke-19.

“Pertimbangan Belanda untuk melakukan penguasaan terhadap kerajaan kecil karena dianggap lebih mudah ditundukkan sehingga potensi alam penyangga perdagangan Bima akan lebih mudah dikuasai,” tulis I Made Geria.

Ternyata, Tambora dan kerajaan lainnya tak mudah ditundukkan. Digunakanlah politik adu domba dengan Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Isinya di antaranya, Kerajaan Gowa dilarang mengirim bantuan ke Bima dan diperintahkan untuk menangkap raja-raja di kerajaan kecil. Perintah itu tidak dilaksanakan oleh Kerajaan Gowa.

Namun, alam berkehendak lain. Tambora dan kerajaan lainnya mendapatkan pukulan dahsyat setelah Gunung Tambora meletus.

I Made Geria mengutip catatan residen Tobias yang mendata: sebelum letusan, Tambora berpenduduk sekira 40.000 jiwa pada 1808. Setelah letusan dahsyat itu, 30.000 jiwa lebih penduduk tewas. Pada 1816, sisa penduduk yang masih hidup tewas semua karena diterjang banjir bandang dan banjir lahar.

“Selanjutnya bekas Kerajaan Tambora yang sudah habis ditelan ganasnya alam tersebut digabungkan dengan wilayah Kerajaan Dompu,” catat I Made Geria.

Setelah bencana terjadi, Tambora tetap masyhur. Banyak pedagang datang untuk menukar dagangannya dengan barang berharga, sebagaimana dikisahkan syair Bo’ Sangaji Kai.

Penduduk kembali ramai meninggali kawasan Tambora pada 1907.

I Putu Yuda Haribuana, peneliti Balai Arkeologi Denpasar, menyebut ada peninggalan bangunan Belanda di sekitar situs Tambora, salah satunya bekas pabrik kopi.

Baca Juga :  Pasar Tomohon, Pasar Penjual Segala Macam Daging di Nusantara

Menurut I Made Geria, temuan berbagai artefak disertai rangka manusia juga komponen sisa bangunan membuktikan bahwa Situs Tambora telah dihuni oleh sekelompok masyarakat yang memiliki peradaban cukup tinggi, jauh sebelum letusan Tambora 1815.

Meletus Akibat Kekhilafan Raja

Naskah lokal mencatat sabab musabab meletusnya gunung Tambora. Salah satunya karena Allah murka pada raja Tambora.

- Advertisement -