Letusan terkuat Tambora terjadi pada 10 April 1815. Desa-desa di sekitarnya hancur lebur diterjang material-material vulkanik, menghancurkan daerah Sanggar dan memaksa mereka yang selamat untuk mengungsi. Begitu pula yang terjadi di Dempo dan Bima, sebelah timur dari Tambora.
Residen-residen di Jawa memberikan laporan efek letusan Tambora di wilayahnya masing-masing kepada Thomas Stamford Raffles selaku letnan gubernur Inggris di Batavia. Surat-surat tersebut, sebagaimana terlampir dalam Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles, Volume 1, senada menyebutkan bagaimana gelapnya hari-hari setelah letusan 10 April 1815 itu, akibat cahaya matahari tertutup material vulkanik yang beterbangan di langit Jawa dan sekitarnya.
Residen Gresik bahkan mencatat bagaimana penduduk lokal menganggap letusan Tambora sebagai pertanda aktivitas supranatural: “Orang-orang lokal mengaitkannya dengan kisah legenda, yang mengatakan bahwa Nyi Roro Kidul tengah menikahkan salah satu anaknya, ditandai dengan tembakan salut dari artileri supranatural miliknya. Mereka melihat abu-abu vulkanik yang beterbangan di udara merupakan ampas bubuk mesiu meriam milik Nyi Roro Kidul.”
Satu lagi laporan yang komprehensif datang dari Letnan Owen Philips, utusan Raffles yang ditugaskan untuk menginspeksi efek dari letusan Tambora terhadap masyarakat lokal Sanggar, Dempo, dan Bima, sekaligus memberikan bantuan logistik.
Menurut laporannya, pemandangan di sana amat mengerikan. Mayat-mayat masih tergeletak di jalan-jalan.
“Mereka juga terkena penyakit diare yang disebabkan karena meminum air yang telah tercampur abu vulkanik. Kuda-kuda mereka juga mati, dalam jumlah yang besar, dikarenakan hal yang sama,” lapor Philips sebagaimana termuat dalam History of Java Volume 1.
Owen berhasil menemui Raja Sanggar dan keluarganya yang merupakan saksi hidup letusan. Dia menceritakan dengan mendetail detik-detik terjadinya letusan Tambora, yang kemudian Philips laporkan kepada Raffles di Batavia.
Diperkirakan 11.000 orang tewas terkena efek langsung letusan Tambora, menyusul 49.000 lainnya karena bencana kelaparan di Sumbawa, Lombok dan Bali. Efek Tambora juga mempengaruhi pertanian di seluruh dunia.
Peradaban dan Kerajaan Kuat di Tambora
Pada pertengahan abad ke-17, sumber lontar Makassar menyebut Tambora dan Pekat memiliki kedudukan khusus dalam pemerintahan negeri-negeri Pulau Sumbawa.
Sonny C. Wibisono, peneliti Puslit Arkenas, dalam Bencana & Peradaban Tambora 1815, menunjukkan peta tahun 1659 koleksi KITLV yang memuat gambaran wilayah Tambora dan Pekat. Peta ini termasuk salah satu dokumen Barat awal tentang wilayah itu.
Bila mundur lagi ke masa lampau, sejumlah kerajaan di wilayah Sumbawa sudah dikenal sejak Raja Hayam Wuruk memerintah Majapahit. Dalam naskah Negarakertagama disebutkan negeri Dompo, Sang Hyang Api, dan Bima.
Menurut I Made Geria, kemungkinan ketiga kerajaan itu terkena pengaruh Majapahit. Kendati dalam catatan sejarah hanya Dompo yang ditaklukkan Majapahit di bawah komando Mpu Nala.