Rammang-Rammang, Negeri Kabut di Pelukan Karst Maros

Rammang-Rammang bukan sekadar tempat wisata. Ia adalah saksi bisu dari jutaan tahun proses geologis, rumah dari flora dan fauna khas, dan pelukan hangat dari masyarakat yang menjaga tanah ini dengan penuh cinta.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Pagi itu, kabut turun perlahan, menyelimuti barisan karst yang menjulang bak raksasa purba yang terbangun dari tidur panjangnya. Di bawah langit yang masih sendu, sebuah perahu katinting mengarungi tenangnya Sungai Puthe, memecah keheningan pagi dengan suara mesin kecilnya yang khas.

Di kanan-kiri sungai, pohon nipah dan lontar berdiri tenang, seolah menyambut para pengunjung yang datang jauh-jauh hanya untuk melihat sebuah keajaiban alam yang tersembunyi di jantung Maros, Sulawesi Selatan.

Inilah Rammang-Rammang, sebuah lanskap menakjubkan yang seperti terpotong dari dunia lain. Nama “Rammang-Rammang” sendiri berasal dari bahasa Makassar, berarti “kabut” atau “awan”. Nama yang sangat pas, mengingat kawasan ini kerap diselimuti embun pagi yang turun setipis selendang, menciptakan suasana magis yang sulit dilupakan.

- Advertisement -

Berada di Kampung Berua, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, kawasan ini menjadi bagian dari gugusan karst terbesar kedua di dunia—setara dengan Tsingy di Madagaskar, Shilin di Cina, dan Halong Bay di Vietnam. Bentangannya yang eksotis dan liar kini telah dikenal luas sebagai permata tersembunyi dari timur Indonesia.

Rammang-Rammang

Perjalanan menuju Kampung Berua dimulai dari dermaga kecil, di mana perahu katinting siap mengantar para pelancong menyusuri sungai selama kurang lebih 20 menit. Perahu kecil bermesin ini bisa disewa dengan harga antara Rp 250.000 hingga Rp 300.000, tergantung jumlah penumpang.

- Advertisement -

Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, tapi transformasi suasana. Dari hiruk-pikuk jalanan, menjadi keheningan alam yang hanya diisi gemercik air, gesekan angin, dan suara burung liar yang bersahutan.

Sesampainya di Kampung Berua, pengunjung seakan masuk ke dalam dunia yang berbeda. Sebuah kampung yang tetap lestari, berdampingan damai dengan alam dan menyuguhkan nuansa yang tak lekang oleh waktu.

Baca Juga :  Tradisi Pacuan Kuda di Jeneponto

Meski baru dibuka untuk umum sejak tahun 2014, pesona Rammang-Rammang cepat menyebar. Kini, di akhir pekan, ratusan orang datang setiap harinya—mengejar secuil ketenangan yang ditawarkan oleh bentang alam ini.

- Advertisement -

Di kawasan ini, tak hanya formasi karst yang memukau mata. Pengunjung juga bisa menjelajah tempat-tempat ikonik seperti Telaga Bidadari yang tenang, Padang Ammarrung yang terbentang luas, Gua Kingkong dengan mulutnya yang misterius, hingga Gua Kunang-Kunang yang berkilau saat mata menyesuaikan diri dengan gelap.

Dan bila sempat menerbangkan drone, lanskap Rammang-Rammang dari udara tak ubahnya seperti panorama hutan Amazon—lebat, liar, dan menyimpan sejuta rahasia.

Rammang-Rammang

Waktu terbaik untuk datang adalah di musim kemarau, ketika kabut tidak terlalu tebal dan sinar matahari bisa leluasa menari di atas batuan kapur. Datanglah di pagi hari. Saat itulah segalanya terasa paling hidup—dari siluet bukit-bukit karst yang tersapu cahaya mentari, hingga penduduk desa yang sedang melempar jala ke sungai, mencari ikan untuk sarapan.

Jika ingin menetap lebih lama, penginapan sederhana yang dikelola oleh warga setempat siap menyambut. Bermalam di Kampung Berua bukan sekadar tidur, melainkan sebuah pengalaman menyelami denyut nadi alam dan budaya lokal yang ramah dan bersahaja.

Rammang-Rammang bukan sekadar tempat wisata. Ia adalah saksi bisu dari jutaan tahun proses geologis, rumah dari flora dan fauna khas, dan pelukan hangat dari masyarakat yang menjaga tanah ini dengan penuh cinta. Maka, saat kamu pulang dari Rammang-Rammang, bukan hanya memori yang kamu bawa, tapi juga jejak kecil kerinduan untuk kembali.