Salah satu pendekatan strategis dalam promosi pariwisata berbasis kearifan lokal adalah melalui penyelenggaraan festival budaya. Festival tidak hanya berfungsi sebagai media pelestarian tradisi, tetapi juga sebagai sarana efektif untuk menarik kunjungan wisatawan dan memperkuat identitas daerah. Pemerintah Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, melalui Dinas Pariwisata, mengimplementasikan strategi ini secara kolaboratif melalui pelaksanaan Nagekeo One Be Festival (NOBF) pada 5–7 Desember 2023.
Festival ini mengangkat tema “Budaya dan Pelestarian Lingkungan Hidup”, dengan menjadikan “Be” — sejenis tas tradisional khas pria Nagekeo — sebagai ikon utama. Be bukan sekadar produk kriya, tetapi mengandung nilai-nilai simbolik yang merepresentasikan identitas kultural komunitas lokal. Penetapan Be sebagai simbol festival menjadi langkah strategis dalam menegaskan kekayaan budaya Nagekeo di kancah nasional bahkan internasional.
Penyelenggaraan NOBF melibatkan sinergi antara pemerintah, masyarakat, sektor swasta, serta aktor-aktor lokal. Salah satu aktor kunci dalam festival ini adalah Dimensi Indonesia, komunitas lokal yang berperan sebagai lokal hero dalam mendukung konsep, pelaksanaan teknis, hingga mobilisasi partisipasi publik.
Dimensi Indonesia tidak hanya menjadi penyelenggara bersama, tetapi juga menjadi penghubung antara warisan budaya lokal dengan pendekatan promosi modern berbasis narasi visual, edukasi budaya, dan ekowisata.
Be sebagai Simbol Budaya dan Identitas Kolektif
Secara antropologis, Be merupakan artefak budaya yang kaya akan nilai simbolik. Dalam berbagai komunitas di Nagekeo, Be dikenal dengan beragam nama seperti Boawae, Bola Bae, Bheka, dan Sape. Terbuat dari anyaman daun pandan duri atau pucuk lontar muda, Be digunakan oleh laki-laki dalam berbagai kesempatan, baik formal maupun informal.
Keberadaan Be telah melampaui fungsi praktis sebagai wadah barang; ia menjelma menjadi penanda identitas. Be berfungsi sebagai simbol kebanggaan etnis, status sosial, dan afiliasi budaya. Di luar Nagekeo, Be menjadi penanda identitas diaspora dan memperkuat solidaritas antarwarga perantauan.
NOBF: Integrasi Budaya, Edukasi, dan Ekowisata
Festival NOBF dirancang sebagai ruang ekspresi kultural dan partisipasi komunitas. Rangkaian kegiatan dimulai dengan parade budaya yang melibatkan pelajar, aparatur sipil negara, komunitas adat, serta berbagai kelompok masyarakat yang mengenakan busana tradisional Nagekeo. Seremoni pembukaan ditandai dengan pemukulan gong oleh Bupati Nagekeo, Johanes Don Bosco Do.
Beragam pertunjukan budaya seperti Etu (tinju adat), Kaijo (balas pantun), dan Teke dihadirkan sebagai bentuk pelestarian nilai-nilai lokal. Aspek edukatif tercermin dalam lomba mewarnai, melukis, dan membaca nyaring bagi siswa TK hingga SMA. Dalam pendekatan ekowisata, kegiatan seperti lintas alam dan penanaman mangrove di kawasan Maropokot melibatkan kolaborasi antara TNI-AL, komunitas Trash Hero, Dimensi Indonesia, serta pelajar dan instansi terkait.
Pameran kerajinan lokal, produk UMKM, serta partisipasi dari BUMN/BUMD dan perangkat daerah menegaskan bahwa NOBF juga menjadi medium penguatan ekonomi kreatif berbasis budaya. Dimensi Indonesia mengambil peran sebagai fasilitator penghubung antaraktor, serta motor penggerak dalam mengintegrasikan potensi lokal dengan strategi promosi digital dan dokumentasi narasi budaya.
Refleksi dan Implikasi
Nagekeo One Be Festival merupakan model pengembangan pariwisata berbasis budaya yang partisipatif dan berkelanjutan. Pendekatan kolaboratif antara pemerintah daerah dan local hero seperti Dimensi Indonesia memperlihatkan efektivitas kemitraan dalam menggerakkan kesadaran budaya sekaligus memperluas jangkauan promosi destinasi.
Ke depan, penting dilakukan kajian dampak festival terhadap ekosistem sosial-budaya dan ekonomi lokal, untuk memperkuat kebijakan promosi wisata berbasis kearifan lokal. Dengan melibatkan komunitas seperti Dimensi Indonesia, pengembangan pariwisata tidak lagi bersifat top-down, melainkan inklusif dan berakar pada kekuatan lokal.