Jakarta, kota yang tak pernah lelah menyambut pagi, adalah panggung besar bagi kisah-kisah dari ribuan latar yang berbeda. Hiruk-pikuknya bukan semata tentang gedung pencakar langit atau kemacetan abadi, tetapi juga tentang denyut kehidupan yang berasal dari campuran budaya dan sejarah panjang.
Di antara keberagaman yang bersemayam di ibu kota ini, komunitas Tionghoa hadir bukan hanya sebagai pendatang, melainkan sebagai bagian penting dari nadi Jakarta itu sendiri.
Kisah mereka bukan cerita baru. Ratusan tahun lalu, para pedagang dari daratan Tiongkok datang mengarungi lautan, membawa barang dagangan dan harapan. Mereka bukan hanya singgah, melainkan tinggal, menikah dengan masyarakat lokal, dan menanamkan akar budaya yang hingga kini masih tumbuh.
Seiring waktu, jejak mereka membentuk warna tersendiri dalam wajah Jakarta, mempengaruhi budaya Betawi melalui bunyi-bunyian seperti gambang kromong yang tak hanya bernuansa gamelan, tetapi juga berdenting alat musik khas Tionghoa seperti tehyan, kongahyan, dan sukong.
Namun, sejarah mereka tidak selalu mulus. Tahun 1836, pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan kebijakan pemisahan etnis, yang memaksa warga Tionghoa dan etnis lain tinggal di wilayah-wilayah tertentu—lahirlah kampung Melayu, kampung Ambon, kampung Bugis, dan pecinan. Dari sini, cerita pecinan Jakarta bermula. Di tengah berbagai kawasan itu, Glodok menjadi pusat yang paling mencolok dan berpengaruh—jantung Pecinan yang berdenyut hingga kini.
Nama “Glodok” konon berasal dari bunyi air “grojok-grojok” yang sering terdengar dari pancuran air di daerah itu. Lidah warga Tionghoa yang mengucapkannya menjadi “Glodok,” dan nama itu pun menetap, melegenda, serta menjadi titik temu antara masa lalu dan masa kini.
Lihat postingan ini di Instagram
Menjelang Tahun Baru Imlek, Glodok seperti berubah menjadi dunia lain. Warna merah menyala merayap di setiap sudut jalan; lampion bergelantungan, angpau aneka rupa berjajar di kios-kios, dan lilin raksasa dengan ukiran naga menyala di altar-altar vihara. Petasan dan kembang api siap menghentak malam, membangunkan semangat baru. Sementara itu, aroma manis kue keranjang dan segarnya jeruk mandarin menggoda siapa pun yang lewat.
Tetapi Glodok tak hanya bercerita saat Imlek tiba. Kesehariannya pun menyimpan mozaik budaya yang tak kalah menarik. Bangunan-bangunan tua bergaya Tionghoa masih berdiri kokoh, seolah menolak waktu. Di tengah lorong-lorong sempit dan gang-gang legendaris, kehidupan komunitas Tionghoa berjalan berdampingan dengan sejarah yang mereka rawat. Warisan kuliner, adat, dan kepercayaan tetap hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya.