Jakarta, ibu kota yang sibuk dan penuh hiruk-pikuk, menyimpan jejak panjang sejarah yang tak lekang waktu. Di balik gemerlap gedung pencakar langit dan padatnya lalu lintas, kota ini lahir dari pertemuan beragam etnis dan budaya, menjadi tempat bercampurnya tradisi lokal dan pengaruh luar. Dari sinilah lahir sebuah suku yang menjadi bagian penting dari identitas kota ini: suku Betawi.
Suku Betawi bukanlah etnis yang muncul tiba-tiba. Keberadaannya merupakan hasil dari proses panjang percampuran berbagai suku Nusantara—seperti Sunda, Jawa, Bali, Bugis, hingga Ambon—dengan bangsa-bangsa asing seperti Tionghoa, Arab, Portugis, India, dan Belanda.
Pada masa awal, sebelum istilah Betawi dikenal, masyarakat menyebut para penghuni kawasan pesisir ini sebagai wong Jakarta atau orang Jakarta, terutama di wilayah Sunda Kelapa yang kemudian berubah nama menjadi Jayakarta.
Nama Betawi sendiri mulai muncul pada masa penjajahan Belanda, saat Jayakarta diubah namanya menjadi Batavia. Lidah orang Sunda yang sulit mengucapkan “Batavia” menjadikannya “Betawi”, dan dari sinilah istilah itu kemudian melekat dan bertahan hingga kini. Penyebutan “orang Betawi” pertama kali tercatat dalam surat wasiat Nyai Inqua, janda dari Souw Beng Kong, Kapiten Tionghoa pertama di Batavia, yang menyebut seorang pembantunya sebagai orang Betawi.
Berbeda dengan penduduk asli daerah lain yang umumnya masih mendominasi wilayahnya, orang Betawi justru semakin terpinggirkan di Jakarta. Seiring urbanisasi dan pesatnya pertumbuhan kota, wilayah-wilayah yang dulunya menjadi pusat komunitas Betawi kini semakin menyusut. Banyak dari mereka bermigrasi ke daerah pinggiran Jakarta seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Karawang.
Lihat postingan ini di Instagram
Muncul pula istilah seperti Betawi Udik, Betawi Pinggir, dan Betawi Tengah untuk membedakan wilayah tempat tinggal mereka. Meski begitu, masih ada kampung-kampung yang kental dengan nuansa Betawi seperti Kampung Rawa Belong, Kampung Condet, Marunda—yang terkenal sebagai tempat asal si Pitung—serta Kampung Setu Babakan yang hingga kini tetap menjaga warisan budaya mereka.
Setu Babakan, yang terletak di Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, menjadi wajah modern dari pelestarian budaya Betawi. Kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Betawi sejak tahun 2004, dengan tujuan melestarikan adat, kesenian, arsitektur, religi, hingga kuliner khas Betawi. Di lahan seluas 32 hektare ini, sekitar 3.000 kepala keluarga tinggal dan sebagian besar dari mereka adalah keturunan asli Betawi yang telah menetap turun-temurun.
Setiap hari, Setu Babakan terbuka untuk umum mulai pukul 09.00 hingga 16.00 WIB. Suasana kampung yang asri, keramahan penduduk, dan udara segar dari pepohonan membuat siapa pun merasa betah.
Saat akhir pekan, panggung terbuka di kawasan ini menyajikan pertunjukan seni budaya Betawi seperti tari topeng, lenong, tanjidor, dan ondel-ondel. Terkadang, pengunjung juga bisa menyaksikan langsung prosesi adat seperti pernikahan atau khitanan, bahkan latihan pencak silat oleh para pemuda.
Tak hanya seni dan budaya, Setu Babakan juga menawarkan wisata alam berupa dua danau indah: Danau Mangga Bolong dan Danau Babakan. Dikelilingi pohon-pohon buah seperti belimbing, sawo, rambutan, kecapi, dan melinjo, danau-danau ini menjadi tempat yang cocok untuk bersantai, memancing, atau sekadar menikmati pemandangan. Tersedia pula penyewaan perahu seharga Rp6.000 per orang bagi yang ingin mengelilingi danau.
Kuliner khas Betawi pun mudah dijumpai di sepanjang jalan dekat danau. Ada kerak telor yang dimasak langsung di hadapan pengunjung, dodol Betawi yang legit, hingga soto Betawi yang kaya rempah. Semua disajikan dengan harga terjangkau, menjadikan pengalaman kuliner di sini tak hanya lezat tetapi juga hangat dan akrab.
Setu Babakan juga menjadi lokasi berbagai kegiatan budaya. Pertunjukan seni rutin digelar setiap akhir pekan, sementara agenda tahunan mencakup Festival Budaya Betawi, Pekan Lebaran, Pekan Desember, dan pagelaran bernuansa islami.
Selain itu, berbagai kegiatan dadakan sering pula diadakan oleh warga, pemerintah, maupun pihak swasta. Dengan hanya membayar biaya parkir sebesar Rp5.000, pengunjung bisa menikmati seluruh kawasan yang telah dilengkapi fasilitas umum seperti Museum Betawi, tempat ibadah, galeri, area bermain, teater terbuka, hingga wisma penginapan.
Akses ke Setu Babakan pun terbilang mudah. Banyak kendaraan umum yang melewati kawasan ini. Jika menggunakan bus kota, pengunjung bisa turun langsung di depan gerbang utama. Sedangkan bagi pengguna commuter line, cukup turun di Stasiun Lenteng Agung lalu melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum atau transportasi daring.