Sekilas tampak sederhana—nasi putih hangat, sayuran rebus, sepotong ikan asin, dan tentu saja, sambal terasi yang menyala merah menyala. Tapi jangan pernah remehkan hidangan tradisional Banyuwangi yang satu ini. Namanya nasi tempong, dan ia bukan sekadar makanan, melainkan pengalaman rasa yang menghantam lidah dan membekas dalam ingatan.
Dalam bahasa Using, kata tempong berarti “tampar”. Bukan tanpa alasan—sambalnya yang pedas membakar sering membuat siapa pun yang mencicipinya refleks menepuk-nepuk pipi mereka sendiri, seolah mencoba meredakan sengatan cabai yang menggigit. Tapi di balik rasa pedas yang meledak-ledak itu, tersembunyi kehangatan khas rumahan yang membuat siapa pun ingin kembali mencicipinya lagi dan lagi.
Nasi tempong sejatinya adalah hidangan rakyat. Sering disantap sebagai makan siang atau malam, terutama oleh para pekerja dan petani yang membutuhkan tenaga setelah seharian beraktivitas. Kini, nasi tempong telah naik kelas menjadi ikon kuliner Banyuwangi, disajikan di warung sederhana hingga restoran modern, tanpa kehilangan jiwanya.
Selain komponen utama, nasi tempong juga bisa dinikmati dengan beragam lauk tambahan seperti telur dadar, ayam goreng, tahu, tempe, atau ikan laut goreng. Setiap elemen berpadu sempurna: renyah, gurih, dan tentu saja pedas—membuatnya jadi sajian komplet yang memuaskan perut sekaligus hati.