Nasi Seribu, Jejak Kebersamaan dari Tanah Duri Enrekang

Zaman boleh berubah, tapi Nasi Seribu tetap hidup.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Di lereng pegunungan Enrekang yang sejuk, aroma nasi hangat bercampur rempah menguar dari dapur-dapur rumah warga. Di halaman, deretan daun jati tersusun rapi membentuk hamparan panjang.

Warga berbondong datang, tua-muda, lelaki-perempuan, membawa nasi, lauk, dan senyum tulus. Mereka bukan sedang berpesta besar, melainkan melaksanakan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun — Nasi Seribu.

Tradisi ini bukan sekadar makan bersama. Ia adalah simbol kehidupan masyarakat Duri: sederhana namun penuh makna, terikat oleh nilai kebersamaan yang kuat. Dulu, Nasi Seribu disajikan di atas daun jati, dimakan bersama tanpa sekat. Setiap suapan menjadi pernyataan bahwa kebersamaan adalah inti dari kehidupan.

- Advertisement -

Ritme Malam dan Pagi yang Berbeda

Ketika malam tiba, lelaki-lelaki Duri berkumpul di dapur umum, menyiapkan nasi dan lauk dalam kuali besar. Asap kayu bakar menari di udara malam, bercampur tawa dan obrolan ringan. Mereka bekerja tanpa pamrih, bukan karena kewajiban, tetapi karena rasa memiliki terhadap tradisi.

Menjelang fajar, giliran para perempuan mengambil alih. Mereka menyajikan hidangan, menyambut tamu, dan memastikan semuanya berjalan sempurna. Pembagian peran ini begitu alami — bukan bentuk subordinasi, tetapi harmoni. Di sinilah nilai sejati masyarakat Enrekang hidup: saling melengkapi, bukan saling mendominasi.

Nafas Religi dalam Setiap Suapan

“Makan bersama adalah ibadah.” Ungkapan itu hidup dalam tradisi ini. Nasi Seribu tidak lepas dari nilai-nilai Islam yang kuat di masyarakat Duri. Di balik hidangan yang sederhana, tersimpan makna berbagi, gotong royong, dan penghormatan terhadap tamu. Setiap acara menjadi ruang sosial di mana doa, syukur, dan silaturahmi menyatu dalam suasana damai.

- Advertisement -

Bagi masyarakat, berbagi nasi bukan sekadar memberi makan, melainkan berbagi rezeki dan kebahagiaan. Ketika semua orang mendapat bagian yang sama, tidak ada yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah — hanya ada rasa setara di hadapan Tuhan dan sesama.

Baca Juga :  Ikan Tamba, Warisan Fermentasi Ikan dari Jantung Borneo

Hidup di Tengah Modernitas

Zaman boleh berubah, tapi Nasi Seribu tetap hidup. Di tengah era digital dan individualisme, tradisi ini menjadi oasis sosial yang menyejukkan. Setiap kali digelar, ia menghidupkan kembali nilai-nilai lama: gotong royong, kebersamaan, dan empati.

Bahkan, di banyak kesempatan, Nasi Seribu kini menjadi daya tarik wisata budaya. Wisatawan yang datang bukan hanya mencicipi nasi dan lauknya, tetapi juga merasakan kehangatan komunitas yang masih menjaga rasa kekeluargaan dengan tulus.

- Advertisement -

Lebih dari sekadar acara adat, tradisi ini juga punya nilai ekonomi. Semua bahan disiapkan bersama, menekan biaya dan meringankan beban warga kurang mampu. Dalam konteks sosial, Nasi Seribu menjadi ajang memperkuat solidaritas — ketika semua tangan bekerja, tak ada yang tertinggal.

Menjaga Api yang Tak Padam

Setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk menjaga warisan ini. Nasi Seribu bukan hanya tentang makanan, tapi tentang cara hidup — tentang bagaimana masyarakat Duri memahami arti “bersama”. Tradisi ini adalah refleksi identitas yang menyatukan, sekaligus pengingat bahwa dalam kebersamaan, manusia menemukan dirinya sendiri.

Di bawah bayang pegunungan Enrekang yang hijau, Nasi Seribu terus disajikan dari waktu ke waktu. Daun jati masih menjadi piring, tangan-tangan masih bekerja bersama, dan tawa masih berbaur dengan aroma nasi hangat. Sebuah bukti bahwa meski dunia berubah, nilai-nilai kebersamaan tidak pernah lekang oleh zaman.