Kampung Adat Namata: Mistik, Tradisi, dan Kehidupan Suku Sabu

Masyarakat di Pulau Sabu masih memegang teguh adat istiadat dan kepercayaan jingtiu ini pun digambarkan memuja dewa-dewa para leluhur. Sekitar tahun 1970, agama mulai dikenal masyarakat setempat dan kini sudah banyak yang memeluk agama Katolik dan Protestan. Perlahan, jingtiu pun mulai ditinggalkan.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Proses pembuatan tenun Sabu menggunakan benang yang direntangkan pada alat bernama langa, memudahkan pengikatan sesuai motif yang telah dirancang sebelumnya. Pewarnaan kain dilakukan secara alami dengan bahan-bahan yang berasal dari dedaunan.

Untuk warnanya, tenun Sabu biasanya terdiri dari biru atau hitam yang diperoleh dari tanaman nila, merah dari kulit mengkudu, dan kuning dari kunyit. Motif yang biasa muncul pada kain ini meliputi bentuk flora, fauna, serta pola geometris yang disusun rapi pada selembar kain.

Cara mengenakan tenun Sabu cukup sederhana. Kain dililitkan di pinggang dengan ujungnya dilipat ke depan untuk menonjolkan motif. Penggunaannya mirip dengan sarung pada umumnya. Saat ada acara malam, masyarakat setempat sering menambahkan selendang sebagai aksen tambahan untuk melengkapi penampilan.

- Advertisement -

Batu yang tak boleh disentuh

Kampung Adat Namata didirikan oleh seorang tokoh legendaris dari Sabu Raijua, yakni Robo Aba. Ia memiliki empat anak, dan konon anak bungsunya inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya empat suku besar di daerah tersebut.

Di dalam struktur adat Kampung Namata, terdapat beberapa pemangku adat dengan peran masing-masing, seperti Deo Rai (pemimpin utama), Pulod’o (Dewa Matahari), Rue (Dewa Penyakit), Bekka Pahi (Dewa Bumi), Maukia (Dewa Kesuburan), dan Kenuhhe (Dewa Laut). Setiap pemangku adat memiliki tugas dan tanggung jawab tertentu yang berhubungan dengan kehidupan spiritual dan kesejahteraan masyarakat.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Martin Liufeto (@martinliufeto)

Saat memasuki kawasan kampung, pengunjung akan merasakan suasana peradaban megalitik dengan banyaknya bongkahan batu besar yang diyakini memiliki kekuatan magis. Setiap batu memiliki nama dan fungsi khusus.

- Advertisement -

Beberapa di antaranya digunakan sebagai singgasana pemangku adat tertinggi, penentu kemenangan dalam perang, hingga batu yang dipercaya dapat membantu seseorang dalam ritual mencari jodoh.

Baca Juga :  Asal Usul Kolintang Khas Minahasa, Pernah Digunakan untuk Ritual Pemujaan

Salah satu batu yang disebut Rue digunakan dalam ritual khusus untuk mereka yang meninggal dunia akibat kecelakaan, bunuh diri, atau terbakar. Batu ini memiliki makna spiritual yang mendalam bagi masyarakat setempat.

Karena setiap batu dianggap memiliki kekuatan magis, pengunjung diingatkan untuk berhati-hati. Tidak boleh sembarangan menginjak, menyentuh, atau bahkan memotret dua batu yang terletak di ujung kampung. Pelanggaran terhadap aturan ini diyakini dapat membawa penyakit atau malapetaka yang tidak diinginkan.

- Advertisement -