Air Panas Marapokot “Kapan kamu kesini?” Tanya sahabat yang tak bosannya menanyakan pertanyaan yang entah telah beribu kali ia tanyakan. Kata Amin, Mbay kota yang menyembunyikan keindahannya.
Ia ingin saya menulis tentang keindahan kotanya pada orang banyak. Sabagai orang yang suka keindahan, darah petualanganku selalu mendidih setiap kata ‘alam yang indah’ melewati telingaku.
Dan benar, kota ini memang indah namun Mbay tak seberuntung kota-kota lainnya yang dianugrahi keindahan oleh tuhan. Hamparan gunung dan perbukitan yang mengelilinginya, seolah memberi perlindungan pada ribuan penduduknya lalu mengurung keindahannya.
Saya butuh 2 hari menuju kota ini dari Labuan bajo. Dihari pertama saya langsung menemukan eksotisme kota yang dijuluki Surabaya dua. “Tak jauh dari sini (Pusat Kota) ada sumber air panas yang bisa kamu nikmati sepuasnya dan itu gratis,” kata Amin. Tanpa pikir panjang kuiyakan ajakannya.
Sebagai kota dikeliling gunung api aktif tak heran bila Mbay memiliki sumber air panas. Uniknya, bila biasanya air panas berada dipengunungan, di kota ini letaknya didekat pantai, ditengah-tengah hutan bakau.
Airnya pun bercampur dengan asinnya air laut. Panasnya cukup menyerutkan dahi saat merendamkan kaki. Gelembung air yang muncul di selah-selah akar bakau seolah menggambarkan panasnya.
Air panas itu biasanya dinikmati warga untuk menghilangkan penak setelah seharian bekerja dikebun. Mereka datang merendam badan dibeberapa kolam. Hari minggu, sumber air panas ini akan kebanjiran pengujung. “Berendam terlalu lama disini akan membuat perut kelaparan, jadi disarankan membawah makanan,” kata Amin padaku.
Karena tidak dikelolah dengan baik, air panas mengalir begitu saja mengikuti aliran yang terbentuk secara alami diselah-selah bakau dan membentuk kolam-kolam permandian. Tanaman bakau yang tumbuh lebat juga membuat sumber air panas berlumut. Saat saya turun, airnya sama sekali tidak berbau dan sangat jernih. Kehangatannya seketika mengalir dalam setiap sendi, membuat tubuh seolah dipijit.
Saya menyempatkan berlajan-jalan dibawah rimbunnya bakau, mengikuti aliran air mencari sumbar mata air lainnya. Hijaunya daun, suara siulan burung pipit dan kepiting yang asyik menggali lubang menyebunyikan dirinya mengiringiku berjalan jauh dalam hutan. Sesekali saya berhenti setiap menemukan sumber mata air yang mengeluarkan gelembung, mencelupkan jari, mencoba mengira suhu airnya.
“Disinikan ramai dan berada dipinggir jalan, kenapa tidak dibuatkan kolam permandian seperti permandian air panas pada umumnya, yah,” kataku pada Amin. Air panas Marapokot sangat dekat dengan jalan utama. Hanya butuh berjalan kaki 3 menit. Biasanya akan ramai dikalah sore menjelang. Namun, karena dibiarkan tampa pegelolaan, warga harus mengantri agar dapat menikatinya.
Kolam yang terbentuk hanya dapat memuat beberapa orang. Air laut yang surut juga kadang membuat debit air berkurang. Dan sangat disarankan untuk tidak datang di pagi hari.