Nilai Dasar Mantaa Duku’
Ritual mantaa merupakan salah satu acara terpenting dalam rangkaian upacara rambu solo’. Nilai yang mendasari ritual mantaa duku’ ini pada mulanya diketemukan dalam
salah satu kuplet Ossoran Badong To Dirapai’ (Nyanyian Tradisional dalam Upacara Kematian Tingkat Tertinggi).
Ossoran Badong To Dirapai’ berisi riwayat hidup almarhum sejak dilahirkan, bertumbuh menjadi dewasa, berkarya dalam masyarakat, menjadi tua, meninggal lalu dilangsungkan upacara kematiannya; kemudian ia berangkat menuju Puya dan dari sana beralih ke Barat, di mana ia naik ke dunia atas, menjadi dewa (mendeata, membali puang).
Pada babak upacara kematiannya, salah satu kuplet berbunyi sebagai berikut:
Unggaraga leppo’-leppo’, Ia mendirikan sebuah panggung kecil,
Sola to lempo bumarran, Sebuah aram-aram berbau amis,
Nanai mantaa langsa’, Tempat ia membagi-bagikan langsat,
Ussearan buakayu. Menebarkan buah-buahan.
Sandami ka’panan balang, Maka semua beroleh daging bagian paru-paru
Sola usuk penamile. Dan juga rusuk kerbau jantan besar.
Bala’kaan atau lempo bumarran adalah panggung yang didirikan pada upacara kematian, tempat membagi-bagikan daging (mantaa).
Kuplet di atas menandaskan bahwa orang mati itu sendirilah (secara figuratif) yang mendirikan bala’kaan itu, tempat ia membagi-bagikan daging kerbau yang dikorbankan pada upacara kematiannya itu.
Semua pihak dalam kampung memperoleh bagian. Dalam pembagian daging tersebut semua pihak mendapat bagian: para leluhur dan tongkonan-tongkonan, fungsionaris-fungsionaris adat, Orang Toraja tradisional bekerja keras selama hidupnya mengumpulkan harta untuk dibagi-bagikan pada ritus mantaa duku’ di upacara kematiannya.
Dengan demikian tujuan orang Toraja tempo dulu mengumpulkan harta bukanlah untuk dimiliki dan dinikmati sendiri, melainkan untuk dibagi-bagikan pada upacara kematiannya kelak kepada mereka yang masih hidup, sebelum ia sendiri berangkat ke dunia orang mati.
Jadi nilai luhur asli yang mendasari ritus mantaa duku’ ialah kerelaan berbagi milik, berbagi kehidupan, semangat kebersamaan, solidaritas komuniter dan persatuan kekeluargaan. Jadi Aluk To Dolo dengan sangat jelas mengajarkan fungsi sosial dari harta milik. Fungsi sosial ini sesuai dengan pemikiran Durkheim.
Menurut Durkheim, kepercayaan dan ritual keagamaan selalu mengekspresikan kebutuhan masyarakat, yaitu menuntut setiap anggotanya untuk lebih memikirkan kelompok (komunitas) ketimbang diri pribadi.
Nilai luhur mantaa duku’ yaitu kerelaan berbagi ini merupakan implementasi atau penerapan dari salah satu nilai yang dikejar oleh orang Toraja, yaitu persekutuan.
Salah satu tanda persekutuan adalah saling memberi. Dalam bentuk modern sekarang ini tanda persekutuan itu masih dapat kita lihat pada pesta pernikahan di kota-kota dan di desa.
Dimana orang saling memberi hadiah dalam berbagai bentuk, sebagai ungkapan hubungan yang akrab, ungkapan rasa berada dalam satu persekutuan.
Bagi orang Toraja, saling memberi adalah kewajiban yang tidak tertulis dan tidak mutlak dianggap hutang. Kalau seseorang memberi garam, lombok atau lainnya lalu dibayar kembali, maka hal itu merupakan penghinaan atau penolakan hubungan persekutuan.
Hal itu berarti bahwa yang bersangkutan tidak ingin orang lain meminta bantuan dari padanya. Pembayaran hutang dalam rambu tuka’ dan rambu solo’ tidak dinilai secara ekonomi, melainkan tanda saling mengakui sebagai anggota persekutuan.
Karena perkembangan ekonomi dan modernisasi maka nilai ini mengalami pergeseran sehingga saling memberi sudah menjadi hutang-piutang yang akhirnya mengurangi dan bahkan membahayakan nilai persekutuan.
Keluarga jauh atau kenalan pun sekarang ini boleh datang membawa kerbau atau babi untuk dikorbankan dan biasanya dianggap sebagai utang yang suatu saat nanti akan “dibayar”.