Makna dan Filosofi Angngaru | Angngaru berasal dari kata dasar aru, yang berarti sumpah. Istilah angngaru sendiri bermakna bersumpah, yakni pernyataan janji yang diucapkan oleh masyarakat Gowa pada masa lampau. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh abdi kerajaan kepada rajanya, atau sebaliknya, oleh raja kepada rakyatnya. Lalu bagaimana sejarah hingga
Tradisi ini mulai muncul sekitar abad ke-13 Masehi. Pada awalnya, aru merupakan pernyataan atau ikrar yang disampaikan oleh raja kepada dewan adat. Di Kerajaan Gowa, pada masa damai, aru diucapkan oleh seorang raja yang baru saja dilantik.
Dalam prosesi ini, sang raja berjanji untuk setia dan menjalankan tugasnya dengan amanah di hadapan Dewan Adat Sembilan (Bate Salapang), yang berperan sebagai wakil rakyat dari wilayah masing-masing. Selain Bate Salapang, rakyat yang hadir juga menjadi saksi sumpah tersebut.
Berikut kutipan sumpah aru yang diucapkan raja kepada dewan adat saat pelantikan:
Karaeng (Raja): “Kau angkat aku menjadi Raja, aku bertitah, engkau patuh. Aku ibarat angin dan engkau daun kayu.”
Setelah itu, Bate Salapang menjawab:
“Setelah engkau dilantik menjadi raja, maka engkau resmi menjadi raja. Kami pun menjadi hambamu. Namun, kalau kami menjunjung, tidaklah kami memikul. Kalau kami memikul, tidaklah kami menjunjung.”
“Engkau laksana angin dan kami daun kayu. Namun hanya daun yang menguning yang engkau rontokkan. Setelah engkau dilantik menjadi raja, hanyalah batang tubuh kami yang menjadi milikmu. Hak milik kami tidaklah menjadi hakmu.”
“Engkau takkan mengambil ayam kami dari tempat bertenggernya. Engkau takkan mengambil telur dari keranjang di pekarangan kami. Engkau takkan mengambil sebutir pun kelapa kami atau setandan pinang kami.”
“Jika ada yang engkau perlukan dari kami, belilah yang pantas engkau beli, gantilah yang pantas engkau ganti. Mintalah yang pantas engkau minta, dan kami akan memberikannya kepadamu.”
“Engkau tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap hak milik kami, sebab kami tak termakan oleh senjatamu, begitu pula engkau tak termakan oleh senjata kami.”
Pada prosesi di hadapan sombayya (Raja/Pemerintah), seorang tubarani yang akan melakukan angngaru berlutut dengan tegap. Tangan kanannya menggenggam badik yang terhunus, sementara pandangannya lurus ke depan, menunjukkan tekad dan kesetiaan kepada sombayya.
Di masa lalu, angngaru dilakukan sebelum prajurit berangkat ke medan perang. Sebelum berangkat, mereka terlebih dahulu mengucapkan sumpah aru (sumpah setia) di hadapan sombayya. Dalam sumpah tersebut, para prajurit berjanji untuk mempertahankan wilayah kerajaan, membela kebenaran, dan pantang mundur sebelum mengalahkan musuh.
Tradisi angngaru iitu bertujuan membakar semangat para prajurit sebelum bertempur, sekaligus menanamkan jiwa ksatria dalam diri mereka. Demikianlah angngaru dilakukan selama masa peperangan.
Setelah perang usai, tradisi ini tetap dilestarikan. Para pejabat kerajaan yang baru dilantik diwajibkan menjalani angngaru dengan mengucapkan sumpah di hadapan sombayya. Sumpah tersebut merupakan janji untuk melaksanakan tugas pemerintahan dengan sungguh-sungguh dan menjaga kehormatan raja.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa angngaru tidak hanya dipandang sebagai tradisi, tetapi juga sebagai bentuk seni tari dan karya sastra.
Hanya orang–orang tertentu yang bisa membawakan angngaru karena dibutuhkan keahlian khusus. Dalam pementasannya, pelaku angngaru juga memainkan senjata khas Sulawesi Selatan.
Senjata yang digunakan yakni Badik. Dalam filosofinya badik dianggap sebagai simbol penjagaan dan perlindungan. Pada masa sekarang, angngaru sering dipertunjukkan dalam kegiatan adat, kegiatan pemerintahan, maupun dalam penyambutan tamu – tamu kehormatan.
Angngaru dalam berbagai kegaiatan itu menyampaikan simbol jika tamu yang berkunjung akan dijamin keselamatan dan kenyamanannya selama berada di daerah yang dikunjungi.
Seiring waktu, angngaru juga ditampilkan dalam pesta pernikahan. Padahal menurut Firman Saleh, seorang budayawan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, angngaru sebaiknya tidak ditampilkan dalam pesta pernikahan dengan menggatinya dengan tradisi pakkio bunting.
Menurutnya, tradisi ini perlu dikembalikan kepada makna aslinya, yaitu sebagai bentuk ikrar, janji, atau sumpah setia yang biasanya diucapkan oleh prajurit atau panglima kerajaan. Ia juga menambahkan bahwa tradisi ini dilakukan oleh mereka yang memiliki keyakinan kuat, termasuk keyakinan akan kekebalan terhadap senjata tajam seperti badik, keris.
Saat ini angngaru telah bertransformasi menjadi bagian dari tradisi pernikahan, di mana maknanya dipahami sebagai sumpah janji setia antara mempelai pria dan wanita. Dalam konteks tersebut, angngaru digunakan untuk menggambarkan kesediaan mempelai pria menjadi pendamping yang setia dan pelindung bagi pasangannya.
Dahulu tradisi angngaru yang melibatkan penggunaan badik, parang, atau keris asli, yang hanya dilakukan oleh orang-orang dengan keyakinan dan kemampuan khusus.
Namun, saat ini, banyak penampil angngaru yang menggunakan badik asli tanpa memiliki keyakinan atau kemampuan tersebut, sehingga meningkatkan risiko kematian.
Makna Angngaru
Dalam jurnal Indonesian Journal of Pedagogical and Social Sciences, disebutkan bahwa budaya Angngaru memiliki makna mendalam pada setiap lisan dan badik yang digunakan. Lisan dalam Angngaru berisi ikrar atau sumpah setia yang penuh keberanian di hadapan Sang Raja, menjadi simbol kesetiaan seorang prajurit kepada rajanya.
Badik yang digunakan dalam Angngaru melambangkan sosok laki-laki dalam tradisi Makassar. Menghilangkan badik dianggap setara dengan kehilangan nyawa, sehingga badik dipandang sangat suci dan tidak boleh diambil atau disalahgunakan.
Pelaksanaan tradisi Angngaru mengandung nilai-nilai penting seperti Aru’ (hormat dan ketaatan) dan Siri’ na Pacce (menjaga harga diri dan teguh pada pendirian). Setelah Aru’ diikrarkan, prajurit menyerahkan segala keputusan kepada Raja dan menjaminkan dirinya sebagai konsekuensi jika melanggar ikrar tersebut.