Di balik heningnya bebatuan karst Sulawesi Selatan, tersembunyi kisah purba yang lebih tua dari peradaban kota mana pun di Nusantara. Kisah itu tertulis bukan dengan tinta, melainkan dengan telapak tangan—diukir dalam warna merah yang membara pada dinding gua. Inilah Leang-Leang, situs prasejarah yang menjadi saksi bisu kehidupan nenek moyang kita, ribuan tahun sebelum nama Indonesia lahir.
Terletak di kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, tepatnya di Kabupaten Maros, Leang—yang berarti “gua” dalam bahasa setempat—bukanlah tempat biasa. Ia adalah museum alam terbuka yang menyimpan lebih dari 80 gua dengan peninggalan prasejarah di dalamnya, dari total 230 gua yang sudah terdata di kawasan Maros-Pangkep.
Akses ke Leang-Leang memang belum sempurna, namun keindahan lanskap karst yang menjulang dan bebatuan hitam besar yang tertata alami membuat perjalanan terasa sebagai bagian dari petualangan. Dari Bandara Sultan Hasanuddin, pengunjung bisa menempuh perjalanan darat sekitar 1 jam untuk sampai ke pintu gerbang kawasan ini. Di sana, sejarah menanti dalam bentuk yang paling sunyi—dan paling memikat.

Dua gua utama yang bisa dikunjungi dengan mudah adalah Gua Pettae dan Gua Petta Kere, yang berjarak sekitar 300 meter satu sama lain. Gua Pettae, yang dipagari besi setinggi dada orang dewasa, langsung menyapa pengunjung dengan lima stensil telapak tangan di dindingnya.
Menurut warga setempat, gambar dengan lima jari utuh dipercaya sebagai penangkal bala, sementara yang hanya empat jari melambangkan duka. Telapak tangan ini dibuat dengan teknik negative hand stencil, di mana tangan diletakkan di dinding gua lalu disemprot dengan pigmen merah alami yang berasal dari batuan mineral. Uniknya, warna merah itu masih bertahan hingga kini, meresap dalam pori-pori batu selama lebih dari lima milenium.
Bergeser ke Gua Petta Kere, pengunjung bisa memilih dua jalur: jalur utama yang landai atau jalur alternatif melalui celah bebatuan sempit. Di dalam gua ini, suhu udara berkisar 30°C, dengan kelembaban rongga sekitar 70%. Di dindingnya, terdapat lebih banyak stensil tangan—27 buah, 17 di antaranya utuh.

Selain itu, terdapat pula lukisan seekor hewan yang sedang melompat dengan panah tertancap di tubuhnya. D.A. Hooijer, seorang ahli zoologi, meyakini hewan tersebut adalah babirusa, satwa endemik Sulawesi. Dari lukisan-lukisan ini, tampak jelas bahwa manusia purba di sini telah memiliki sistem kepercayaan, seni, dan interaksi dengan alam sekitarnya.
Yang menarik, pola telapak tangan ini tidak disusun secara sembarangan. Mereka berkelompok secara acak dan sering kali ditemukan di titik-titik dinding yang sulit dijangkau—seolah ada makna spiritual atau simbolik dalam peletakannya.
Dengan tiket masuk hanya Rp 10.000, Leang-Leang menjadi situs edukatif yang terjangkau namun kaya makna. Pemandu wisata di lokasi siap menemani perjalanan pengunjung, membagikan cerita-cerita dari masa silam yang tak tertulis di buku sejarah. Situs ini buka setiap hari, pukul 08.00 hingga 18.00 WITA.
Penemuan pertama kawasan ini dilakukan pada tahun 1950 oleh dua arkeolog Belanda, Van Heekeren dan CHM Heeren Palm. Namun hingga kini, kawasan Leang-Leang terus menyimpan misteri. Dari ratusan gua yang telah ditemukan, diperkirakan masih banyak lagi yang belum tersentuh eksplorasi. Setiap gua adalah arsip kehidupan yang menanti untuk diceritakan ulang kepada generasi mendatang.