Seluruh ritual gawi merupakan simbol atau semangat persaudaraan, senasib sepenanggungan dan luapan rasa syukur dan penghormataan kepada sang Pencipta, leluhur dan alam yang telah memberikan makanan.
Prose ritual dimulai dengan So Au yaitu menentukan tempat akan dibukanya lahan baru (uma wolo). Selanjutnya dilakukan Ngeti, Poto ura aje, yaitu membuka huma secara simbolis yang menandai pembukaan ladang yang diikuti pantangan beberapa waktu selama 1-3 hari, yang disebut dengan wari atau membiarkan huma yang sudah ditebas untuk beberapa waktu.
Sesudahnya dilakukan Jengi, membakar huma yang sudah kering yang akan dijadikan kebun yang dilanjutkan dengan sele ago atau sewu petu, atau reba rango dengan upacara seru fata atau tolak bala dimana tanah dibungkus dengan dahan, ranting dan lainnya lalu ditarik dari ujung atas kebun menuju arah bawah atau tempat yang lebih rendah (lawo).
Selanjutnya, dilanjutkan dengan tedo atau menanam padi dan tanaman lainnya. Tedo pertama dilakukan oleh mosalaki pada waktu pagi sekali sebelum orang lain tahu, lalu prosesnya disusul oleh fai walu ana kalo, atau masyarakat biasa.
Saat tanaman telah berumur sekitar tiga bulan dan mulai matang dilakukan tonda lobo rabhe rara, yang ditandai dengan nggua uta bue atau memakan kacang-kacangan. Simbol ini adalah untuk mengingatkan kembali keturunan dan leluhur atau nenek moyang yang datang secara bersusun, berketurunan. Bue atau kacang-kacangan itu buahnya bersusun melambangkan keturunan yang tidak berhenti, melambangkan sistem tangga.
Lalu diikuti makan bersama, keesokan harinya diadakan gawi atau menari bersama. Waktu gawi pun para mosalaki lebih dahulu baru menyusul warga masyarakat biasa. Setelah upacara nggua keu-uwi, diadakan ritual tolak bala (joko ju). Upacara tolak bala ini dimaksud agar segala penyakit atau bala tidak akan masuk lagi bila membuka kebun berikutnya. Segala penyakit diusir dari kebun atau ladang tersebut agar hasil panen bisa mencukupi sesuai harapan.
Ritual ditutup dengan melaksanakan tarian gawi bersama-sama. Sebelum gawi, mosalaki menuangkan arak (moke) dan memberi makan kepada leluhur di batu ceper yang berada di tengah lapangan rata di kampung adat tempat di lakukan gawi bersama.
Hampir semua masyarakat Saga hadir dalam kesempatan nggua yang selalu rutin digelar setahun sekali setiap bulan September.