Di sebuah sore yang berangin di dataran Sumba, derap langkah menghentak tanah, suara gemerincing lonceng kecil di kaki terdengar bersahutan. Sejumlah pria dengan kain adat membentuk barisan. Parang terhunus, perisai terangkat. Di antara gerakan yang bertenaga dan pekikan lantang, mereka menghadirkan kembali satu bab dalam sejarah pulau ini — bab yang ditulis dengan keberanian, kehormatan, dan kemenangan. Mereka menari Kataga.
Bagi masyarakat Sumba Tengah dan Sumba Barat, Tari Kataga bukan sekadar pementasan. Ia adalah narasi hidup, warisan dari masa ketika peperangan antar suku menjadi bagian dari perjalanan hidup. Kata “Kataga” berasal dari katagahu — “memenggal kepala musuh.”
Pada masa itu, peperangan bukan hanya soal merebut wilayah atau harta, melainkan soal kehormatan. Kepala musuh yang berhasil dibawa pulang menjadi bukti supremasi. Tengkorak-tengkorak itu kemudian digantung di adung — pohon-pohon yang berdiri di pekarangan rumah, menjadi saksi bisu tentang siapa yang berjaya.
Namun, kisah Kataga tidak berhenti pada kekerasan. Ada jalan pulang, bahkan untuk kepala yang tergantung. Dalam upacara damai, pihak keluarga yang kehilangan bisa menebus kehormatan mereka. Prosesi ini dimulai dengan sebuah pertunjukan: prajurit-prajurit memperagakan cara mereka bertempur. Dari situlah Tari Kataga lahir — sebuah tari yang merekam ritme pertempuran dan upaya perdamaian.
Dalam setiap pertunjukan, para penari Kataga bergerak dalam formasi kaku namun penuh semangat. Parang — atau katopu — diayunkan ke udara, perisai — toda — dipukulkan keras, menciptakan denting yang menggetarkan. Suara teriakan lantang bersahut-sahutan, memperkuat ilusi tentang barisan prajurit di medan perang.
Setiap elemen tari ini mengandung makna. Kain adat yang membalut tubuh, hiasan kepala rowa atau kapauta, hingga lonceng kecil di kaki, semuanya mempertegas identitas para penari sebagai penerus cerita lama. Gerakan melompat, mengayun, memukul — semuanya dirancang bukan untuk estetika semata, melainkan untuk menghidupkan kembali rasa: keberanian, ketegangan, dan akhirnya, kelegaan setelah pertarungan berakhir.
Hari ini, Tari Kataga masih tampil di banyak acara adat di Sumba, juga di panggung-panggung festival budaya. Namun bagi masyarakat Sumba, tarian ini tetap lebih dari sekadar pertunjukan. Ia adalah cara untuk mengingat bahwa di balik kekerasan masa lalu, ada nilai yang lebih besar yang diwariskan: tentang keberanian, tentang kehormatan, dan tentang pentingnya damai.
Di setiap ayunan parang dan hentakan kaki para penari, Sumba berbicara — tentang siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan mengapa mereka masih menari hingga hari ini.