Kampung Adat Belaraghi adalah salah satu contoh kampung tradisional yang konsisten menjaga nilai-nilai budaya warisan nenek moyang mereka. Terletak di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, kampung ini jadi miniatur gaya hidup masyarakat Ngada yang khas.
Kampung Adat Belaraghi menawarkan keindahan budaya tradisional di Indonesia. Terletak di Keligejo – Kecamatan Aimere, kampung ini merupakan salah satu dari sedikit kampung adat etnis Ngada yang masih mempertahankan keaslian dan kebudayaan mereka.
Untuk mencapai Kampung Adat Belaraghi, terdapat dua pilihan akses yang dapat dipilih oleh pengunjung. Pertama, melalui jalur trekking yang melalui hutan dan perbukitan selama sekitar 3 jam dari Wolowio.
Alternatif kedua dengan menggunakan kendaraan pribadi dari pertigaan Aimere. Akses jalan ke desa ini juga terbilang cukup sulit, karena jalanan masih berbatu, menanjak dan belum beraspal. Jadi terkadang harus dilalui dengan berjalan kaki.
Sesampainya di gerbang kampung, suasana tenang dan nyaman akan menenangkan jiwa. Bagi penduduk Kampung Adat Belaraghi, kedatangan tamu merupakan momen yang spesial, hampir seperti cinta pada pandangan pertama.
Mereka menyambut dengan sukacita yang tulus dan meluapkan segala kerinduan yang mereka simpan untuk tamu yang mereka nantikan dengan penuh harap. Menyediakan suguhan-suguhan kehormatan adalah bagian dari budaya mereka.
Di rumah tamu, para pengunjung akan disuguhkan dengan hidangan sederhana namun lezat, seperti ubi, pisang, dan talas yang direbus, disertai dengan kopi atau arak. Sambal cabe rawit Flores juga tak lupa disertakan dalam hidangan tersebut, menambah kenikmatan rasa bagi para tamu.
Tak lama kemudian, makan siang yang merupakan bagian dari tradisi “ti’i ka ebunusi”, yaitu “menyajikan masakan untuk leluhur”, akan disajikan. Tradisi ini melibatkan pengorbanan seekor babi hutan yang biasanya dipelihara oleh masyarakat Flores.
Bagi penduduk Belaraghi, pengunjung bukanlah sekadar wisatawan, tetapi dianggap sebagai tamu yang dihormati. karena itulah, sikap penghormatan yang tulus dan penuh rasa dilakukan di rumah tamu, yang dikenal sebagai “sao one”. Rumah ini merupakan salah satu rumah yang paling sakral, karena disinilah para tamu diperkenalkan kepada leluhur dan tradisi-tradisi adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Belaraghi.
Kehidupan sehari-hari di Kampung Adat Belaraghi jadi bagian paling penting untuk diamati. Sebagian besar warga kampung adalah perempuan, sementara laki-laki dan anak-anak mereka bersekolah di kampung terdekat di Aimere.
Mata pencaharian utama penduduk adalah bertani, yang mana hasil panen biasa mereka jemur di depan rumah. Kampung adat ini dibangun diatas Bukit Belaraghi yang juga menjadi nama kampuang. Awalnya desa itu terletak di puncak Bukit Belaraghi, namun pada 1950-an desa mengalami kebakaran yang membuat pendudukan harus kampuang ke lereng.
Salah satu kebiasaan suku-suku di flores ketika terjadi musibah, mereka akan memindahkan kampung untuk menghindari musibah yg sama.
Kompleks kampung adat Belaraghi Pun sangat unik. Mereka membangun rumah dengan pola saling berhadapan dan berderet sejajar di kiri dan kanan jalan, membentang dari arah timur laut ke barat daya. Di tengah-tengah pemukiman merupakan tanah lapang yang luas untuk melaksanakan kegiatan adat, menjemur hasil panen hingga arena bermain anak-anak.
Kampung ini dihuni tiga suku adat yakni Suku Belah, Suku Bawa, dan Suku Fu’i. Masing-masing rumah adat memiliki nama-nama yang berbeda, diantaranya adalah Kaka, Sapu, Sa‘olobo, Ka’kafu’u, Ka’kalobo, dan Sa’odoro.
Total ada 16 rumah tradisional yang masih berdiri disusun rapi dalam dua baris berhadapan. Salah satu ciri khas yang membedakan kampung ini adalah tingginya pelataran di depan rumah, mencuat di atas pondasi rumah yang beratap daun rumbia.
Dari keenam belas rumah tersebut, lima di antaranya adalah “sao pu’u”, atau rumah asal, yang ditandai dengan ornamen rumah kecil di ujung atapnya. Sedangkan lima rumah lainnya disebut “sao lobo”, atau rumah terakhir, yang memiliki ornamen tubuh manusia di bagian atapnya.
Sementara rumah-rumah lainnya disebut “sao kaka”, yang dianggap sebagai bagian pelengkap dari kampung dan dianggap sebagai anak dari rumah asal dan rumah terakhir.
Selain rumah-rumah tradisional, Kampung Adat Belaraghi dihuni lima suku, setiap suku memiliki ngadhu dan bhaga sebagai simbol leluhur laki-laki dan perempuan.
Proses pembuatan ngadhu memerlukan ritual khusus, di mana seluruh wanita di kampung diminta untuk memasuki rumah saat batang ngadhu dipahat dari pohon di hutan dan dibawa ke desa. Hal itu dilakukan karena mereka yakini bahwa roh leluhur laki-laki sedang melintas saat proses ini berlangsung.
Tak hanya ngadhu dan bhaga, altar meja besar atau lenggi juga menjadi bagian penting kampung. Lenggi memiliki peran penting dalam menyelesaikan konflik antar-klan di kampung, dan merupakan bagian integral dari sistem adat dan sosial masyarakat setempat.
Bagi para pengunjung yang ingin merasakan pengalaman yang lebih dalam tentang budaya tradisional etnis Ngada, menginap semalam di Kampung Adat Belaraghi adalah pilihan yang tepat.
Malam hari memberikan kesempatan untuk menyaksikan ritual pemberian sesajen kepada leluhur, yang merupakan bagian penting dari kehidupan spiritual dan budaya masyarakat Ngada.
Tradisi Kampung Adat Belaraghi
Sama seperti kebanyakan kampung adat di Flores, Tradisi masyarakat di Kampung Adat Belaraghi erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, seperti adat istiadat, upacara keagamaan, pertanian, perkawinan, upacara kematian, dan perayaan-perayaan lainnya. Mereka memegang teguh nilai-nilai tradisional dalam interaksi sosial mereka.
Misalnya pada Ritual keagamaan yang diadakan untuk memperingati peristiwa penting, menghormati leluhur, atau memohon kelancaran rezeki dan keselamatan bagi suku.
Bertani merupakan mata pencaharian utama mereka. Warga biasanya mengikuti siklus musim untuk bercocok tanam dan menggantungkan hidup pada hasil panen. Tradisi-tradisi terkait pertanian, seperti upacara penanaman dan panen, juga masih dijaga dengan erat.
Kesenian dan budaya juga menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Ngada. Mereka melestarikan seni musik, tarian, ukiran, dan anyaman tradisional sebagai bentuk ungkapan seni dan identitas budaya mereka.