Jakarta, ibu kota sekaligus kota terbesar dan terpadat di Indonesia, menyimpan lapisan-lapisan sejarah yang membentuk jati diri bangsa. Setiap sudutnya menyimpan cerita: tentang kerajaan kuno, ambisi kolonial, hingga semangat kemerdekaan.
Riwayat kota ini dimulai jauh sebelum nama “Indonesia” dikenal dunia—jejak peradaban awal dapat ditelusuri hingga abad ke-5 Masehi, kala Prasasti Tugu ditemukan di kawasan Koja, Jakarta Utara. Prasasti ini menandai geliat pelabuhan Kerajaan Tarumanegara, membuktikan bahwa wilayah ini sudah ramai sejak lebih dari 1.500 tahun silam.
Zaman berganti, kekuasaan silih berganti. Namun, salah satu tonggak yang paling membentuk Jakarta sebagai kota modern adalah ketika bangsa Belanda datang melalui VOC—Vereenigde Oostindische Compagnie.
Kongsi dagang yang didirikan pada 1602 ini lahir di tengah semangat eksplorasi bangsa-bangsa Eropa dalam Abad Penjelajahan. Tujuannya jelas: menjelajahi dunia, mencari kekayaan, dan mengukuhkan kejayaan.
Pada awal abad ke-17, Jayakarta telah menjadi pelabuhan penting dalam perdagangan rempah. VOC melihat potensi besar di kota ini. Dengan jalan diplomasi dan kekuatan militer, VOC berhasil menyingkirkan para pesaing dan pada 1621, Jayakarta diubah namanya menjadi Batavia. Di sinilah cikal bakal Jakarta modern dibentuk.
Lihat postingan ini di Instagram
Batavia dirancang sebagai pusat kekuasaan VOC, lengkap dengan kanal-kanal, jalan-jalan lurus, dan gedung-gedung bergaya Eropa. Kini, lebih dari 350 tahun kemudian, warisan kolonial itu masih bisa dilihat di berbagai sudut kota. Kawasan Kota Tua Jakarta menjadi saksi bisu dari masa itu—mulai dari Taman Fatahillah hingga bangunan-bangunan yang kini dialihfungsikan menjadi museum.
Salah satu bangunan paling ikonik adalah Museum Sejarah Jakarta, atau dikenal juga sebagai Museum Fatahillah. Dulunya, bangunan ini adalah balai kota Batavia (Stadhuis) yang dibangun pada 1627 dan direnovasi menjadi bentuk seperti sekarang pada 1710, terinspirasi dari istana kerajaan Belanda di Amsterdam. Kini, museum ini menjadi ruang edukasi yang menyajikan sejarah Jakarta secara komprehensif.
Di sekitarnya, Museum Seni Rupa dan Keramik menempati gedung bekas Dewan Pengadilan Tinggi Batavia yang dibangun tahun 1870. Tak jauh dari situ, Museum Wayang berdiri dalam bangunan yang dulunya adalah gereja tahun 1640—di mana batu nisan Jan Pieterszoon Coen, Gubernur-Jenderal VOC, masih berada di dalam kompleks. Untuk pengalaman yang lebih kasual, Café Batavia yang berdiri sejak 1830 juga menawarkan atmosfer tempo dulu yang masih terasa kuat hingga kini.
Batavia bukan hanya pusat kekuasaan, tapi juga kemewahan. Kanal-kanal yang dilapisi pohon tropis membingkai vila-vila indah, hingga kota ini dijuluki “The Jewel of Asia.” Di puncak kejayaannya, Batavia adalah pelabuhan tersukses di dunia. Tapi kemakmuran itu juga membawa tantangan: kota yang kian padat, sanitasi buruk, dan wabah penyakit yang tak terhindarkan.