Pada setiap kali musim mengetam, Aegomo menjadi tempat yang sangat ramai dikunjungi oleh orang-orang, baik yang berasal dari Roga sendiri maupun dari luar dengan maksud todo pare. Actus todo pare biasanya dilakukan di halaman yang agak luas. Halaman tersebut dinamakan oleh orang Lio, Seka. Setelah orang melakukan todo pare di Seka, biasanya pare (padi) yang sudah bersih disimpan di dalam Lepa (lumbung).
Aktifitas todo pare yang pada awalnya mungkin dilakukan hanya oleh beberapa individu tertentu, akhirnya berkembang dan meluas menjadi aktifitas bersama. Pada awalnya berbagai hentakan kaki yang tidak beraturan dalam aktifitas tersebut, berkembang menjadi sebuah hentakan yang beraturan bahkan seragam.
Hentakan yang beraturan tersebut memberikan semangat bagi para pekerja. Menurut Yakobus Ari, gerak tarian Gawi sebenarnya ada kaitan dengan peristiwa todo pare atau pelepasan bulir padi dari tangkai dengan cara diinjak dengan kaki. Dan hentakan yang berulang-ulang itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya tarian Gawi.
Atas dasar pengalaman todo pare tersebut, akhirnya muncul istilah, Seka jadi Kanga, Lepa jadi Keda, artinya Seka yang pada awal mulanya biasa-biasa saja sebagai tempat todo pare, akhirnya berubah menjadi Kanga (tempat keramat yang biasa dipakai oleh para Mosalaki untuk membuat upacara adat, dan pada saat ini juga dipakai sebagai tempat Gawi).
Lepa yang pada awal mulanya digunakan sebagai tempat menyimpan padi menjadi Keda (tempat keramat yang berbentuk lumbung, yang biasanya juga digunakan oleh para Mosalaki dalam berbagai upacara adat).
Orang Ende-Lio pada umumnya amat berpegang teguh pada hukum adat maupun aturan moral yang ada dibuat oleh Du’a Ngga’e, dengan perantaraan nenek moyang mereka. “Karena itu kehidupan mereka sangat terikat pada satu sistem kekerabatan adat istiadat yang sangat ketat dan dipimpim Mosalaki”.
Menurut catatan yang ditinggalkan oleh almarhum Leo W. Misa, sesepuh Lise Tana Pu’u, Gawi merupakan tarian massal yang melibatkan seluruh anggota suku sebagai pesertanya. Gawi ditarikan sebagai bagian penutup dari suatu rangkaian upacara syukuran yang diselenggarakan secara adat oleh suatu suku atau keturunan tertentu.
Dengan menarikan Gawi, semua anggota suku maupun orang luar yang terlibat didalamnya mengungkapkan kegembiraan dan rasa syukur mereka atas keharmonisan hubungan antara mereka dengan Du’a Ngga’e sebagai penyelenggara alam.
Keharmonisan hubungan tersebut terlihat dari hasil panen yang melimpah serta terhindarnya anggota suku dari wabah penyakit maupun bala bencana. Dalam nada yang sama, pemerhati dan praktisi budaya Lio, Amatus Peta menegaskan bahwa Gawi adalah sebuah tarian kehidupan.