Filosofi Kaddo Minyak, Simbol Kekuatan dalam Perayaan Maulid Nabi

Terbuat dari beras ketan dan disajikan dalam berbagai warna, kaddo minyak bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga simbol kekuatan dan persatuan yang mendalam. Dengan telur rebus sebagai pendamping, hidangan ini menggambarkan keunikan tradisi lokal yang telah beradaptasi dengan ajaran Islam, menciptakan harmoni antara budaya dan agama.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Filosofi Kaddo Minyak. Maulid Nabi adalah tradisi yang memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dan biasanya dirayakan dengan berbagai kegiatan. Perayaan ini umumnya dilakukan selama bulan Rabiul Awal dalam kalender Hijriah.

Di masyarakat Bugis-Makassar, perayaan ini sangat identik dengan hidangan khas kaddo minyak, juga dikenal sebagai sokko, yang terbuat dari beras ketan.

Hidangan tradisional ini biasanya hadir dalam berbagai warna, seperti hitam, putih, dan kuning, dan disajikan dengan telur rebus sebagai lauk pendamping.

- Advertisement -

Filosofi Kaddo Minyak

Dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar, kaddo minyak dilihat sebagai simbol kekuatan. Proses yang diperlukan dari penanaman beras hingga pengolahan menjadi kaddo minyak menunjukkan bahwa kekuatan sangat diperlukan. Selain itu, orang yang mengonsumsinya juga diyakini akan mendapatkan kekuatan, karena makanan ini dapat memberikan energi.

Lauk pauk yang menyertai kaddo minyak, yaitu telur, juga dipandang sebagai simbol persatuan. Kegiatan Maulid Nabi dilaksanakan secara kolektif oleh masyarakat, yang berkumpul dan merayakan bersama, menunjukkan bahwa mereka menjadi satu kesatuan.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa kaddo minyak sangat identik dengan perayaan Maulid? Sebelum masuknya agama Islam ke Sulawesi Selatan, kaddo minyak merupakan makanan khas yang sering dihidangkan sebagai sesajian dalam perayaan tradisi Bugis-Makassar.

- Advertisement -

 Kaddo' Minyak

Pada waktu itu, masyarakat Bugis menyajikan kaddo minyak untuk makhluk-makhluk yang dianggap menguasai dunia bawah (mappano) dan dunia atas (mappanre). Hidangan yang telah disajikan sering kali ditinggalkan, yang dalam pandangan Islam dianggap sebagai tindakan mubazir.

Para kyai, yang memahami pelaksanaan tradisi masyarakat Sulsel, berupaya memadukan kebiasaan ini dengan ajaran Islam. Mereka melihat potensi bahwa tradisi tersebut bisa diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari ajaran yang mereka sebarkan.

- Advertisement -

Dari sini, terjadilah akulturasi antara budaya Bugis dan Islam, di mana agama Islam diterima tanpa mengubah sepenuhnya budaya lokal. Dengan cara ini, budaya Islam dan budaya lokal diharmonisasikan agar dapat diterima oleh masyarakat.

Baca Juga :  18 Bangunan Tua di Makassar, Sejarah & Lokasi
- Advertisement -