Siapa yang tak kenal dodol Betawi? Penganan manis kenyal ini telah lama menjadi bagian penting dalam tradisi dan budaya masyarakat Betawi, terutama saat Lebaran atau hajatan besar digelar. Rasanya yang legit dengan aroma harum khas selalu berhasil memikat siapa saja yang mencicipinya.
Dodol Betawi dibuat dari bahan sederhana, yaitu beras ketan putih, santan kelapa, dan gula merah. Namun proses pembuatannya jauh dari kata mudah. Membuat dodol membutuhkan tenaga, kesabaran, dan kerja sama banyak orang.
Tak heran, kegiatan membuat dodol Betawi sering disebut ngaduk dodol, bukan hanya sekadar memasak, tetapi juga menjadi ajang berkumpul dan bergotong royong.
Adonan dodol dimasak dalam kuali besar yang disebut kenceng, diletakkan di atas tungku perapian kayu bakar. Proses memasak dodol memakan waktu berjam-jam, bisa mencapai 8 hingga 10 jam lamanya.
Selama proses ini, adonan harus terus diaduk tanpa henti menggunakan pangaduk—dayung kayu panjang—agar tidak gosong dan adonan dapat mengental sempurna. Biasanya, beberapa pria bergantian mengaduk, sementara para wanita menyiapkan bahan atau membantu menambahkan santan secara perlahan.
Keunikan dodol Betawi juga terletak pada rasanya. Selain rasa original dari gula merah, ada pula varian dodol Betawi rasa durian dan ketan hitam. Ketiganya memiliki cita rasa manis legit dan tekstur yang kenyal lembut, meninggalkan sensasi lengket di lidah yang justru membuat banyak orang ketagihan.
Dahulu, tradisi ngaduk dodol menjadi simbol kekompakan keluarga besar Betawi saat menjelang Lebaran. Dodol yang dibuat bukan hanya untuk konsumsi keluarga sendiri, tetapi juga dibagi-bagikan kepada tetangga dan kerabat sebagai wujud silaturahmi.
Tak jarang, kegiatan ini diiringi senda gurau, cerita masa lalu, hingga pantun-pantun jenaka khas Betawi, menciptakan kehangatan tersendiri di antara aroma santan dan asap kayu bakar yang membumbung.
Seiring berjalannya waktu, banyak produsen dodol Betawi yang menjualnya dalam kemasan praktis, menjadikannya oleh-oleh khas Jakarta. Namun di beberapa kampung Betawi, seperti di Jagakarsa, Srengseng Sawah, dan Condet, tradisi ngaduk dodol masih tetap dilestarikan. Sebab bagi orang Betawi, dodol bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga lambang rasa syukur, rezeki, kebersamaan, dan warisan leluhur yang patut dijaga turun-temurun.
Di balik rasanya yang manis legit, dodol Betawi menyimpan filosofi mendalam: bahwa segala sesuatu yang dikerjakan dengan kesabaran, kerja keras, dan kebersamaan, akan menghasilkan sesuatu yang baik dan berkesan.