Di Balik Keterbatasan, Masyarakat Damu Lindi Tetap Tersenyum

Flores, sedang menarikmu untuk datang kesini. Kecantikannya selalu membuat penasaran. Di samping itu pula, pulau ini masih menyimpan banyak rahasia yang belum terungkap. Sejarah, Budaya, Tarian, Rumah adat dan nilai-nilai toleransi adalah harta yang bernilai tinggi. Semuanya perlu menatap dan harus menetap lebih lama atas pesonanya itu.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Pagi yang dingin. Kabut tebal menutup pegunungan. Pepohonan yang padat menyumplai udara segar ke dalam tubuh. Lonceng gereja berbunyi kencang. Para petani, para guru dan anak sekolah sudah sampai ke tujuan mereka. Namun matahari selalu saja terlambat untuk datang lebih awal. Tanah ini seperti disembunyikan, jauh di pedalaman, jauh dari segala bentuk perhatian.

Kampung Damu, Riung Barat, Desa Benteng Tawa. Kabupaten Ngada. Adalah sebuah nama asing, jarang disebutkan. Bahkan jauh dari sorotan. Wilayah ini begitu tersembunyi. Gunung yang tinggi adalah garis batas, pemisah antara kelas modern dan pedalaman. Sifat gunung adalah lembut dan berkuasa, diam tak berusara. Kemarahannya adalah bencana, cara terbaik untuk memanggil perhatian banyak pihak.

Sejauh ini, bukanlah pegunungan yang memblokade untuk kehidupan orang-orang Damu. Hanya sekte-lah penyebab semua keterbelakangan itu. Tak ada sinyal. Tak ada surat kabar. Handphone bermerk hanya sebatas hiasan tanpa sepenggal berita terbaru.

- Advertisement -
Proses Pendokumentasian di Persawahan.

Keberangkatan

Siang yang cerah. Waktu terus berjalan dan menuntut manusia untuk menafkahi dirinya sendiri. Sepanjang perjalanan, orang-orang sibuk bekerja. Lupa menyapa. Bahkan tak sempat mengabadikan momen indah di hari itu. Hidup adalah sebuah perjuangan untuk esok dan seterusnya.

Perjalanan kami adalah pekerjaan. Projek pendokumentasian Karya Maestro bersama Yayasan Nancy Agata Florida (NAF). Diluar dari tanggung jawab itu, kami turut mengumpulkan cuplikan singkat. Memotret, menulis lalu mempublikasikan untuk membangkitkan energi positif peduli sesama.

Kampung Damu cukup jauh. Kami menghabiskan 3 jam untuk sampai disana. Bersyukur, kami bertiga adalah Tim, sahabat sefrekwensi. Tidak menjenuhkan. “Sambil menyelam tangkap ikan, berharap mendapatkan jodoh dari projek ini.” Namun doa ini tidak direstui, setelah hari ke enam kami berada disini. Tidur lebih awal. Nyaman tak ada yang mengganggu. Moke itu reaksi dengan sangat baik. Segar tanpa pegal di pagi hari. Satu persatu agenda selesai dengan baik.

- Advertisement -
Baca Juga :  Kampung Adat Wologai, Melangkah ke Masa 8 Abat Lalu
Foto bersama Pemangku Adat dan Yayasan NAF

Damu dan Kekuatan Ga’en Wongko’

Dalam menata kehidupan, Ga’en Wongko’ adalah semua hal yang mengatur sistem tata cara hidup berdasarkan apa yang telah dilakukan nenek moyang. Ga’en Tua/Petuah, Wongko’ Kampung akan berperan lebih luas dalam ruang lingkup suku mereka. Namun terbagi menjadi empat bagian penting, semuanya merupakan satu kestuan yang kuat.

Bapak Dor atau kepala suku merupakan figur sentral, bertugas sebagai pemimpin di setiap ritual, perentara dengan para leluhur dan menjaga sumber makanan agar seluruh masyarakat suku terbebas dari kelaparan. Tangaronan bertugas sebagai orang yang menentukan masa tanam dan ritual adat Larik/Caci.

Gelarang sebagai hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara adat. Dan Punggawa adalah hansip, menjemput orang-orang bersalah untuk diadili di rumah adat. Serta bertugas sebagai mandor dalam kegiatan pertanian.

- Advertisement -

Selama ini, Semua hal yang masih berada dalam ruang lingkup suku, tak ada satupun yang luput dari segala aturan. Menanam, menikmati hasil, kematian bahkan hanya untuk berpesta. Bagi yang melanggar, konsekwensinya adalah penyesalan. Kesialan, gagal panen.

Pada waktu tertentu, suku Damu merayakan pesta yang disebut Larik atau Caci. Pesta ini sebagai lambang seni yang diikuti oleh seluruh masyarakat adat, untuk mengungkapan rasa syukur mereka terhadap nenek moyang setelah panen. Selain itu, adalah ritual “Ngampok Manuk” atau Omong Ayam.

Ritual ini bertujuan meminta pada leluhur mereka agar diberikan kesuksesan pada anak cucu mereka dalam menempuh pendidikan, meminta perlindungan dari segalah wabah penyakit yang dapat merusak tanaman mereka.

Seiring berjalannya waktu, kekuatan agama terus masuk menyentuh dunia yang paling terkecil. Mengubah kebiasaan, menantang keburukan, mendekatkan manusia kepada penciptanya. Agama adalah penghubung iman antara manusia dan Tuhan. Rumah ibadah untuk memohon dan penyucian jiwa.

Baca Juga :  Bapongka, Tradisi Menghargai Laut Suku Bajo
Masyarakat sedang menanam padi di sawah.

Secara keyakinan, Masyarakat Damu merupakan penganut Agama Katolik yang taat. Mereka tak pernah berhenti untuk berdoa. Memuji nama Tuhan dengan sungguh-sungguh. Selain itu, masyarakat Damu meyakini bahwa kehidupan dunia tidak juga terlepas dari keberadaan leluhur.

Keyakinan itu tercermin dari budaya, maupun rumah dan kampung mereka. Namun dibalik itu, gangguan dari dunia luar adalah racun yang mematikan. Eksistensi suku mereka bukanlah sebuah benda yang bisa diperjualbelikan. Bagi mereka agama dan Budaya, keduanya merupakan simbol kekuatan, kesejahteraan dan pengakuan.

- Advertisement -