Ansuang Bakeng: Di sebuah bukit yang tinggi, hiduplah Ansuang, manusia raksasa dan makhluk kanibal yang terkenal keji. Di pesisir di bawahnya, tinggal tiga saudara: Panggelawang, Wanggaia, dan Nabai, si bungsu perempuan yang juga dipanggil Wanggelawa. Panggelawang dan Wanggaia bekerja sebagai nelayan, sementara Nabai menenun kain dari serat pisang Abaka.
Pada suatu hari, saat kedua kakaknya melaut, Nabai yang sedang menenun di rumah tiba-tiba disergap oleh Ansuang. Raksasa itu membawanya ke puncak bukit. Namun, Nabai tidak kehilangan akal. Sepanjang perjalanan, ia menyambung serat-serat Abaka yang tak pernah lepas dari tangannya, meninggalkan jejak agar kakaknya dapat menemukannya.
Ketika Panggelawang dan Wanggaia kembali dari laut, mereka merasa ada yang tidak beres. Panggelawang berkata, “Sepertinya sesuatu terjadi di rumah. Adik kita dalam bahaya!” Mereka bergegas ke daratan dan mendapati Nabai telah hilang. Melihat jejak serat yang ditinggalkan Nabai, mereka memutuskan untuk mengikuti arah tersebut.
Perjalanan menuju tempat tinggal Ansuang tidaklah mudah. Mereka harus melewati jurang yang sangat dalam. Panggelawang menyuruh Wanggaia menebang bambu untuk membuat titian. “Tinggallah di sini,” ujar Panggelawang, “aku akan menghadapi Ansuang sendiri dan membawa Nabai kembali.” Wanggaia menurut, menunggu di ujung titian dengan hati was-was.
Setibanya di sarang Ansuang, Panggelawang berpura-pura datang untuk membantu. Ansuang laki-laki, yang hendak pergi ke hutan bersama pasangannya, berkata, “Terima kasih, cucuku. Engkau akan menjadi juru masak kami. Pilihlah lauk dari kurungan di bawah rumah.”
Setelah Ansuang pergi, Panggelawang menemukan para tawanan manusia di kolong rumah, kepala mereka telah dicukur gundul. Dengan hati-hati, ia memotong tali kurungan dan membebaskan mereka. Ia menyuruh mereka bersembunyi di seberang jurang.
Kemudian, Panggelawang menaiki tangga menuju bilik anak perempuan Ansuang, Watairo, yang sedang terlelap. Dengan cerdik, ia membujuk kutu rambut Watairo yang besar seperti anak kambing agar tidak mengadukan keberadaannya kepada orang tuanya. Saat kesempatan tiba, Panggelawang memenggal kepala Watairo, meletakkannya di dekat jendela dengan rambut terurai, dan memasak tubuhnya untuk dijadikan makanan bagi kedua raksasa.
Di hutan, Ansuang perempuan mulai merasa tidak tenang. Ia mendengar suara burung berkata, “Ada tamu dari tempat jauh.” Namun, Ansuang laki-laki mengabaikannya dan terus bekerja. “Apa yang kau khawatirkan? Anak kita ada di rumah, dan makanan sedang dimasak untuk kita,” ujarnya.
Ketika mereka kembali ke rumah, Panggelawang menyajikan masakan dari tubuh Watairo. Ansuang perempuan mulai curiga setelah menemukan jari anak mereka di dalam makanan, tetapi Ansuang laki-laki meyakinkannya. “Bukankah suara anak kita masih terdengar dari biliknya?” Namun, setelah menemukan potongan jari ketiga dengan kuku yang diwarnai inai merah, kecurigaan Ansuang perempuan semakin kuat.
Mereka naik ke bilik Watairo dan mendapati kepala anak mereka bersimbah darah. Sadar telah ditipu, kedua raksasa itu marah besar dan mengejar Panggelawang, Wanggaia, serta para tawanan. Namun, saat mereka melintasi titian bambu, Panggelawang memberi tanda kepada Wanggaia untuk menggoyangkan titian. Titian pun runtuh, menjatuhkan kedua raksasa ke dalam jurang.
Para tawanan dan kedua saudara itu melempari Ansuang dengan batu hingga mereka tertimbun. Sebelum mati, Ansuang bersumpah, “Kami akan membalas dendam! Darah kami menjadi lahar, nafas kami badai, dan api akan menyembur dari mulut kami!”
Namun, Panggelawang menjawab, “Kami akan menjaga pusaran angin Timur untuk melawan arwah kalian!”
Dengan demikian, Panggelawang, Wanggaia, dan Nabai berhasil menyelamatkan diri bersama para tawanan. Kisah ini mengajarkan nilai keberanian, kasih sayang antarsaudara, serta bahwa kejahatan selalu berujung pada kehancuran.
Panggelawang dan Ansuang Bakeng : Kasih Sayang dan Kecerdikan
Setelah kembali dari hutan, kedua raksasa, Ansuang laki-laki dan perempuan, menemukan hidangan yang telah disiapkan Panggelawang. Mereka bertanya, “Apakah engkau memilih yang tambun untuk lauk kami?” Panggelawang menjawab, “Tentu saja, sebagaimana diperintahkan.” Usai menjawab, ia segera menyelinap keluar dan bergabung dengan orang-orang yang bersembunyi di ujung titian bambu di seberang jurang.
Sementara itu, kedua raksasa mulai makan. Namun, Ansuang perempuan menemukan jari dengan kuku berwarna merah di makanannya. Ia berkata, “Ini benar-benar kuku anak kita, Watairo, yang bersalut inai merah.” Ansuang laki-laki membalas sambil terus makan, “Ada-ada saja kau ini. Makanlah, bukankah anak kita sedang berada di bilik? Coba kau panggil dia.”
Ansuang perempuan pun memanggil, “Watairo!” Dari bilik terdengar jawaban, “Oi!” Mendengar itu, Ansuang laki-laki berkata, “Itu suara anak kita. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Raksasa perempuan kembali melanjutkan makannya meski rasa curiga belum sepenuhnya hilang.
Ketika ia menemukan jari lain dengan kuku berwarna merah, ia berkata lagi, “Kalau tak salah, ini juga jari anak kita.” Namun, Ansuang laki-laki membentaknya, “Diamlah dan makanlah. Jangan ganggu waktu makanku!” Untuk memastikan, ia memanggil Watairo sekali lagi. Jawaban yang sama terdengar, “Oi, aku di sini.” Ansuang laki-laki menenangkan pasangannya, “Lihat saja ujung rambutnya yang tergerai dari tingkap bilik.”
Namun, ketika untuk ketiga kalinya Ansuang perempuan menemukan jari dengan kuku yang diwarnai inai, ia berseru, “Ini pasti jari Watairo!” Ansuang laki-laki mulai merasa ada yang tidak beres. Dari seberang jurang, para tawanan yang telah dibebaskan berteriak, “Si Bakeng memakan anaknya sendiri!”
Mendengar teriakan itu, kedua raksasa naik ke bilik. Di sana mereka menemukan kepala anak mereka, Watairo, tergeletak di atas bantal dengan rambut tergerai, sementara darah kental memenuhi tempat itu. Sadar telah ditipu oleh Panggelawang, mereka menjadi murka dan segera mengejar para tawanan, termasuk Panggelawang, Wanggaia, dan Nabai.
Saat kedua raksasa itu melintasi titian bambu, Panggelawang dan Wanggaia yang telah menyiapkan jebakan, menggoyangkan titian hingga runtuh. Kedua Ansuang terjatuh ke dalam jurang. Para tawanan bersama Panggelawang dan saudara-saudaranya segera menghujani mereka dengan batu. Batu-batu besar juga diungkit untuk menimbun tubuh kedua raksasa yang sudah tidak berdaya.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Ansuang bersumpah, “Kami akan membalas dendam pada anak cucu kalian. Mulut kami akan menyemburkan api, darah kami menjadi lahar, dan nafas kami menjadi badai topan.” Namun, Panggelawang dan Wanggaia menjawab dengan tegas, “Kami akan duduk di pusaran angin Timur untuk menghalau arwah kalian.”
Kedua raksasa (Ansuang Bakeng) akhirnya mati di bawah timbunan batu.
Pesan Moral
Cerita Ansuang Bakeng menonjolkan nilai kasih sayang dan kepedulian antar saudara, seperti yang ditunjukkan oleh Panggelawang dan Wanggaia dalam usaha menyelamatkan Nabai.
Selain itu, kisah ini mengingatkan bahwa kejahatan, betapapun kuatnya, selalu berujung pada kehancuran. Masyarakat diajak untuk saling membantu, bersikap cerdik dalam menghadapi tantangan, dan menjauhi perbuatan keji yang dapat berbalik menyakiti diri sendiri.