Namanya sudah cukup menggugah rasa: Bos javanicus javanicus. Dari nama ilmiahnya saja, sudah jelas bahwa makhluk ini adalah anak kandung dari tanah Jawa. Ia besar, kokoh, dan gagah—sering dijadikan lambang keperkasaan oleh masyarakat Jawa sejak zaman dahulu. Sosoknya bahkan menghiasi lambang negara Indonesia sebagai representasi dari sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Namun ironisnya, simbol kebijaksanaan dan semangat demokrasi itu kini berada di ujung tanduk. Populasi banteng jawa, yang dulunya menjelajah bebas di seluruh penjuru Pulau Jawa, kini hanya tersisa di sejumlah taman nasional dan cagar alam. Hutan-hutan yang dulu menjadi rumahnya telah banyak berganti rupa menjadi ladang dan pemukiman. Dan ancaman pemburu liar menambah panjang daftar penderitaan hewan agung ini.
Dalam dunia taksonomi, banteng jawa merupakan bagian dari satu spesies besar yang terbagi dalam beberapa subspesies. Di Kalimantan, mereka dikenal sebagai Bos javanicus lowi, sementara di Asia Tenggara daratan seperti Myanmar dan Thailand, spesies ini disebut Bos javanicus birmanicus.
Lihat postingan ini di Instagram
Bahkan, manusia pernah membawanya melintasi lautan—pada abad ke-19, banteng jawa diperkenalkan ke Australia. Kini, keturunan liarnya, yang dikenal sebagai bali cattle, masih hidup bebas di bagian utara Benua Kanguru.
Meski raganya besar dan terlihat garang, banteng jawa memiliki karakter sosial yang mengagumkan. Mereka hidup dalam kelompok kecil yang dipimpin oleh seekor betina dewasa, biasanya beranggotakan 10–12 ekor. Namun kelompok-kelompok ini bisa bergabung menjadi kawanan yang lebih besar, mencapai 40 ekor.
Ikatan di antara mereka kuat, dan bila ada bahaya mengancam, para jantan akan membentuk barisan pelindung demi keselamatan yang muda dan lemah. Di beberapa taman nasional, banteng-banteng ini bahkan menunjukkan perilaku damai terhadap manusia, seolah menyadari bahwa tidak semua manusia adalah ancaman.
Banteng jantan berwarna hitam kebiruan, besar dan beratnya bisa mencapai satu ton. Sementara betina berbulu cokelat kemerahan. Yang membuat mereka mudah dikenali adalah “kaus kaki putih” alami di kaki-kaki mereka—sentuhan estetika yang membuat mereka tampak anggun di balik kesan garangnya.
Dari postur hingga perilakunya, dari keberanian hingga solidaritas, banteng jawa sungguh mencerminkan nilai-nilai kerakyatan: hidup dalam musyawarah, saling melindungi, dan tidak agresif tanpa alasan. Mungkin itulah yang menjadikannya layak dipilih sebagai simbol sila keempat Pancasila. Bukan hanya karena tubuhnya kuat, tapi karena hatinya yang tidak mudah goyah dalam menjaga keseimbangan dan harmoni.
Sayangnya, hewan yang dulunya merdeka di hutan-hutan tropis ini kini tak lagi bebas seperti dulu. Populasinya terus menyusut. Habitatnya terus menyempit. Dan jika tak ada langkah nyata, simbol itu bisa benar-benar lenyap dari alam dan hanya hidup dalam buku-buku pelajaran dan gambar dinding kelas sekolah dasar.
Namun harapan belum sirna. Pemerintah, taman nasional, dan komunitas konservasi terus berjuang menjaga sisa-sisa populasi ini. Lewat restorasi habitat, perlindungan hukum, hingga program edukasi masyarakat, perjuangan untuk mempertahankan keberadaan banteng jawa terus dilakukan.
Banteng jawa bukan sekadar spesies langka. Ia adalah warisan hidup dari tanah Jawa. Ia adalah penjaga hutan, penutur sunyi masa lalu, dan saksi bisu peradaban. Di balik wajahnya yang tegas, ia menyimpan filosofi bangsa: bahwa kekuatan sejati lahir dari kebersamaan dan pengorbanan.