Asal usul Kota Ponorogo dimulai jauh sebelum indonesia merdeka. Diakhir kejayaan Majapahit, wilayahnya telah terpecah-pecah. Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya memerdekakan diri. Prabu Brawijaya V yang menjadi raja Majapahit saat itu, diajak masuk Islam oleh Wali Songo. Sang Prabu dibujuk dengan cara menawarkan putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi istrinya.
Majapahit yang mulai meredup saat itu menjadi semakin bergejolak akibat pernikahan ini. Meskipun pada akhirnya Prabu Brawijaya V tetap tidak masuk islam. tapi pernikahannya menimbulkan protes dari elit istana yang lain.
Seorang punggawa kerajaan yang bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam bereaksi keras menentang pernikahan itu. Dia memilih keluar dari Majapahit dan mendirikan peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai barat Gunung Wilis.
Tempat ini bernama Wengker atau wewengkon kang angker yang berarti wilayah yang menakutkan. Ketut Suryongalam biasa dikenal dengan nama Ki Ageng Kutu menciptakan seni barongan yang menampilkan sosok harimau sebagai simbol Majapahit yang ditunggangi merak sebagai simbol putri Campa.
Kesenian yang kemudian dinamakan Reog ini dimaksudkan sebagai kritik atas Prabu Brawijaya yang mudah ditundukan dengan rayuan wanita. Ki Ageng Kutu juga mendirikan perguruan yang mengajarkan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Murid-muridnya ini kemudian disebut sebagai Warok.
Dari pernikahan dengan Putri Campa, Prabu Brawijaya mempunyai putra yang bernama Lembu Kenongo kemudian berganti nama menjadi Raden patah. Dia tinggal dan belajar kepada Sunan Ampel hingga diangkat menjadi Mangkubumi di Bintoro oleh Brawijaya. Bintoro yang awalnya bagian dari Majapahit berubah menjadi kerajaan islam pertama di Jawa dengan nama Demak Bintoro berkat dukungan para wali songo.
Raden Patah pun bergelar Panembahan Djimbun. Sedangkan dari pernikahan Prabu Brawijaya dengan Putri Bagelen melahirkan putra bernama Lembu Kanigoro. Dia kemudian juga ikut berguru bersama kakaknya di bawah bimbibingan Sunan Ampel di Demak. Berjalannya waktu Wengker semakin maju dan berkembang ditangan Ki Ageng Kutu.
Hal ini dianggap sebagai ancaman oleh Majapahit dan Demak. Prabu Brawijaya mengutus Lembu Kanigoro untuk mengajak Ki Ageng Kutu menghadap ke Majapahit. Dia pun menemui sang kakak di Demak dan meminta pendapat Wali.
Lembu Kanigoro merubah namanya menjadi Raden Katong dan berangkat menuju Wengker dengan seorang santri bernama Selo Aji. Sesampainya di wilayah Wengker mereka bertemu dengan Kyai Ageng Mirah, seorang penyebar agama islam di Wengker.
Kyai Ageng Mirah sendiri masih termasuk dalam keturunan dari Brawijaya. Saat bertemu mereka membicarakan banyak hal, yang kemudian sepakat untuk berjuang bersama. Masalah Raden Katong adalah Ki Ageng Kutu tidak mau menghadap ke Majapahit sedangkan Kyai Ageng Mirah kesulitan dalam menyebar agama Islam karena pengaruh Ki Ageng Kutu.
Keesokan harinya Kyai Ageng Mirah menemui Ki Ageng Kutu untuk berdiskusi agar dia bersedia untuk menghadap ke Majapahit. Akan tetapi semua itu sia-sia, Ki Ageng Kutu tetap pada pendirianya. Dia kecewa dengan kerajaan dan beranggapan bahwa Majapahitlah yang memberi pintu bagi penyebar agama islam, padahal wilayah Wengker kebanyakan menganut agama sendiri, yaitu Hindu dan Budha.
Singkat cerita terjadilah peperangan antara Majapahit yang dipimpin Raden Katong melawan Ki Ageng Kutu dan para pengikutnya. Akhirnya Kutu sebagai ibukota Wengker akhirnya jatuh ke tangan Raden Katong. Raden Katong melanjutkan pengejaran untuk mencari Ki Ageng Kutu.
Agar dapat lolos dari kejaran Raden Katong, Ki Ageng Kutu bersembunyi dibalik hutan Pandan Rerayungan. Raden Katong menebas tumbuhan pandan sehingga Ki Ageng Kutu tampak ndengongok atau mendongak, akhirnya tempat itu dinamakan Dengok. Asal Usul Kota Ponorogo