Namun, tahukah Anda bahwa jauh sebelum bangsa Eropa tersebut berlayar melintasi samudra, leluhur dari Nusantara telah lebih dulu melakukannya? Bahkan, pada puncak kejayaannya, masyarakat Nusantara dikenal dengan kapal-kapal besar yang disebut jong Jawa atau jung.
Bukti bahwa masyarakat Nusantara telah menjelajahi lautan berabad-abad sebelum bangsa Eropa ditemukan pada mumi Firaun Ramses II yang meninggal pada 1224 SM. Dalam lubang hidung mumi tersebut, ditemukan butiran lada atau merica, bersama dengan ketumbar, damar, dan kapur barus—bahan-bahan yang hanya tumbuh di Nusantara dan digunakan untuk proses mumifikasi.
Fakta ini membuktikan bahwa jalur pelayaran melintasi Samudra Hindia sudah ada sejak ribuan tahun sebelum Masehi, dengan rempah-rempah sebagai komoditas utama.
Menurut sejarawan M.C. Ricklefs, nenek moyang masyarakat Nusantara, yakni penutur Austronesia, bermigrasi dari Kepulauan Formosa (Taiwan) ke wilayah Nusantara sekitar 3000 SM. Namun, bukti arkeologis yang lebih tua, seperti lukisan perahu di gua Sulawesi Selatan, mengindikasikan bahwa tradisi berlayar masyarakat Nusantara telah berlangsung jauh sebelumnya.
Selain itu, nenek moyang orang Nusantara dikenal memiliki sistem navigasi yang andal. Mereka memanfaatkan tanda-tanda alam dan teknik astronomi yang dikenal sebagai navigasi jalur bintang, yaitu menentukan arah berdasarkan posisi terbit dan tenggelamnya bintang tertentu di cakrawala.
Pada masa Majapahit, kemampuan navigasi masyarakat Nusantara semakin maju. Mereka telah menggunakan kompas dan magnet sebagai alat bantu, serta mengembangkan kartografi atau ilmu pemetaan. Pada tahun 1293, Raden Wijaya memberikan sebuah peta dan catatan sensus penduduk kepada pasukan Mongol dari Dinasti Yuan.
Peta tersebut menunjukkan bahwa pembuatan peta sudah menjadi bagian dari sistem pemerintahan di Jawa. Bahkan, para pelaut Eropa mencatat bahwa peta-peta Jawa pada awal 1500-an dianggap sebagai yang terbaik, karena memuat garis-garis lintasan dan rute langsung yang digunakan oleh kapal-kapal dagang. Sebagai negara kepulauan, tidak mengherankan jika Nusantara memiliki peradaban maritim yang jauh lebih maju dibandingkan bangsa-bangsa lain.
Catatan tertua mengenai teknologi perkapalan Nusantara ditemukan dalam karya Claudius Ptolemeus dari Yunani sekitar tahun 150 M. Karya tersebut, Periplus Marae Erythraensis atau “Catatan Laut Bagian Terluar,” menggambarkan kapal besar bernama kolandiaphonta. Kapal ini memiliki panjang lebih dari 50-60 meter, terbuat dari papan berlapis tanpa cadik, dilengkapi banyak tiang, dan menggunakan layar berbentuk layar tanja.
Sambungan antar papan kapal diikat dengan serat tumbuhan. Istilah kolandiaphonta diduga berasal dari terjemahan bahasa Tionghoa Kun Lun Po, yang berarti “kapal-kapal orang selatan.” Istilah Kun Lun merujuk pada wilayah selatan Asia Tenggara daratan dan maritim, termasuk Jawa, Sumatera, Kalimantan, Champa, dan Kamboja.
Kun Lun Po dan Jong
Kun Lun Po merupakan jenis kapal layar kuno yang digunakan oleh pelaut Austronesia dari kawasan Asia Tenggara maritim. Kapal ini tercatat dalam dokumen Tiongkok dari Dinasti Han pada milenium pertama Masehi, yang menggambarkan peran pentingnya dalam menghubungkan jalur perdagangan antara India dan Tiongkok.
Hingga abad ke-14, kapal jenis ini masih digunakan secara luas. Dalam buku Nanzhou Yiwuzhi atau “Hal-Hal Aneh dari Selatan,” yang ditulis oleh Wan Chen pada abad ke-3 M, Kun Lun Po digambarkan mampu mengangkut hingga 700 orang beserta lebih dari 10.000 muatan kargo.
Menurut catatan tersebut, kapal-kapal Kun Lun Po berasal dari wilayah yang disebut Kun-Lun, istilah yang merujuk pada kawasan Asia Tenggara maritim. Kapal-kapal ini memiliki panjang lebih dari 50 meter dan tingginya mencapai 5 hingga 7 meter di atas air.
Produksi kapal-kapal besar seperti ini tidak dilakukan di sekitar Selat Malaka, melainkan di wilayah timur Jawa, yang menjadi pusat industri pembuatan kapal besar pada abad ke-8.
Kapal Terbesar dalam Sejarah Dunia
Pada abad ke-8, perkapalan Nusantara mencapai puncak kejayaannya ketika orang Jawa berhasil membuat kapal-kapal terbesar dalam sejarah dunia, yang dikenal dengan sebutan jong atau jung. Dalam bahasa Jawa Kuno, jong berarti perahu.
Bukti keterampilan masyarakat Jawa dalam bidang perkapalan dapat dilihat pada relief Candi Borobudur yang menggambarkan perahu bercadik, yang kemudian dikenal sebagai “Kapal Borobudur.”
Kata jong pertama kali tercatat dalam prasasti Bali abad ke-11, yaitu Prasasti Sembirann, yang menyebutkan bahwa para saudagar datang ke Bali menggunakan jong dan bahitra (kapal besar).
Dalam sastra Jawa Kuno, istilah jong juga ditemukan dalam Kakawin Bhomantaka dari akhir abad ke-12 M. Pada masa itu, kapal-kapal jong digunakan sebagai transportasi penumpang dan pengangkut kargo laut, bahkan mampu menjelajahi samudra sejauh Samudra Atlantik.