Dalam kehidupan budaya dan tradisi Suku Tengger, terutama di Dusun Keduwung, upacara mayu desa dengan pengurbanaan seekor kerbau atau sapi menjadi sebuah ritual yang dianggap penting. Melalui upacara ini, masyarakat berharap untuk mendapatkan perlindungan dan keselamatan. Konsep ini menjadi landasan bagi kehidupan masyarakat yang masih menjalani pola hidup tradisional.
Pandangan hidup ini mencerminkan suatu konsepsi yang sejalan dan harmonis dengan lingkungan alam. Ada tiga konsep utama yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan: alam lingkungan tempat tinggal, manusia yang hidup di dalamnya, dan arwah para leluhur. Hubungan antara ketiga konsep tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Alam pegunungan dengan lahan yang curam dianggap sebagai anugerah dari Yang Maha Agung yang harus dimanfaatkan dan diolah semaksimal mungkin agar dapat memberikan penghidupan.
- Manusia yang hidup di dalamnya memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan, melestarikan, dan melaksanakan tradisi nenek moyang secara turun-temurun. Mereka menjalankan kewajiban kehidupan dengan memastikan keberlanjutan tradisi dan keberlanjutan hubungan harmonis dengan alam sekitar.
- Arwah leluhur dianggap sebagai cikal bakal dan pendahulu yang membuka lahan dan berperan dalam perkembangan pemukiman. Penghormatan terhadap arwah leluhur menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari sebagai bentuk penghargaan atas warisan dan kontribusi mereka dalam membentuk masyarakat dan lingkungan tempat tinggal.
Pentingnya menghormati arwah leluhur tercermin melalui pelaksanaan persembahan, yang diharapkan dapat membawa keselamatan dan kesejahteraan bagi generasi penerus. Kesatuan ketiga unsur utama, yakni alam, manusia, dan arwah leluhur, menjadikan fondasi utama bagi kelangsungan tradisi megalitik Tengger.
Tradisi megalitik tidak hanya terbatas pada Dusun Keduwung, melainkan juga di desa-desa lain yang berada di kawasan Gunung Bromo. Perkampungan yang ditandai dengan adanya bangunan pemujaan roh leluhur seperti punden atau danyangan menjadi ciri khas dari tradisi ini. Selain itu, di setiap rumah tinggal, mereka mendirikan tempat khusus seperti bale wetan dan sanggar, yang berfungsi sebagai tempat bersemayam sementara roh leluhur ketika dilaksanakan suatu upacara tertentu.
Kehadiran tempat-tempat pemujaan dan ruang khusus di dalam rumah menunjukkan bahwa tradisi megalitik Tengger tidak hanya bersifat kolektif melalui upacara desa, tetapi juga merasuki ke dalam kehidupan sehari-hari setiap rumah tangga. Hal ini mencerminkan betapa kuatnya pengaruh dan pentingnya tradisi megalitik sebagai bagian integral dari identitas dan kehidupan masyarakat Suku Tengger di kawasan Gunung Bromo.
Asal-usul Tradisi Megalitik
Terdapat beberapa teori yang mencoba menjelaskan asal-usul tradisi megalitik, dan salah satu teori yang cukup diakui adalah teori yang diajukan oleh Von Heine Geldern. Teori ini menyatakan bahwa tradisi megalitik berasal dari daerah Tiongkok Selatan dan menyebar melalui migrasi bangsa Austronesia.
Menurut teori ini, pada masa Neolitik dan peralihan menuju Zaman Perunggu di Tiongkok Selatan, komunitas Austronesia yang bergerak ke daerah tersebut membawa serta tradisi megalitik. Mereka membawa serta pengetahuan tentang teknologi pembuatan megalitik, seperti pembentukan dan penempatan batu-batu besar, yang kemudian diadopsi oleh masyarakat di daerah-daerah yang mereka lalui selama migrasi.
Migrasi bangsa Austronesia terjadi melalui berbagai daerah, termasuk Jepang, Formosa, Taiwan, Malaysia, Indonesia, hingga mencapai Pasifik. Dalam perjalanan migrasi ini, tradisi megalitik menyebar dan berkembang di berbagai budaya yang mereka temui.
Meskipun terdapat berbagai teori lain yang mencoba menjelaskan asal-usul tradisi megalitik, teori Von Heine Geldern memberikan kontribusi penting dalam pemahaman sejarah dan persebaran tradisi megalitik, khususnya di wilayah-wilayah yang terpengaruh oleh migrasi bangsa Austronesia.