Asal usul Suku Kaili merupakan salah satu suku besar yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah, terutama di daerah Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Parigi Moutong, dan Kabupaten Donggala.
Suku Kaili memiliki tradisi dan kebudayaan yang sangat kaya, yang berakar pada kepercayaan dan interaksi dengan peradaban masyarakat Austronesia yang datang ke wilayah Sulawesi Tengah ribuan tahun lalu. Beberapa teori dan catatan tradisional memberikan gambaran tentang sejarah awal suku Kaili.
Ada teori yang menyebutkan bahwa suku Kaili diyakini merupakan bagian dari gelombang migrasi besar bangsa Austronesia yang dimulai sekitar 2000 hingga 4000 tahun lalu. Migrasi ini membawa kelompok manusia dari kawasan Taiwan, Filipina, dan Asia Tenggara ke wilayah Indonesia, termasuk Sulawesi. Mereka membawa keterampilan bercocok tanam, navigasi, serta kepercayaan yang menjadi dasar budaya Kaili.
Cerita tradisional dan legenda leluhur masyarakat Kaili mengisahkan nenek moyang mereka sebagai penghuni asli tanah Kaili yang disebut Tokaili. Mereka dipercaya mendiami Lembah Palu, Donggala, dan sekitarnya. Legenda lain menyebutkan bahwa dalam konsep mitologis, nenek moyang suku Kaili datang dari langit dan kemudian menetap di tanah yang subur di Sulawesi Tengah.
Cerita rakyat mengisahkan asal usul nama Kaili yang merujuk pada sebuah pohon besar yang tumbuh di kawasan tersebut, yang dianggap sebagai simbol kekuatan dan keabadian. Nama Kaili juga dikaitkan dengan pemimpin pertama yang memimpin migrasi ke kawasan Lembah Palu.
Asal usul suku Kaili ini menunjukkan kekayaan tradisi dan budaya mereka yang terus berkembang sejak zaman prasejarah hingga kini. Masyarakat Kaili kemudian menyebar di wilayah pesisir dan pegunungan Sulawesi Tengah. Mereka yang tinggal di kawasan pegunungan melahirkan komunitas baru yang disebut Kailida.
Pada awalnya, suku Kailida hidup secara nomaden di hutan dan gunung, melakukan perladangan berpindah, serta membangun rumah di atas pohon. Rumah pohon, yang disebut lante, dibangun dengan bahan-bahan seperti bambu, kayu, dan rotan.
Bambu berfungsi sebagai tiang penopang rumah, biasanya menggunakan batang bambu tua dengan ketinggian minimal 5 meter, sedangkan kayu berfungsi sebagai lantai dan rotan digunakan untuk mengikat sebagai pengganti paku.
Rumah pohon ini dibangun untuk memudahkan pemantauan terhadap hewan ternak mereka dari jauh, dengan ketinggian yang memungkinkan mereka melihat dari atas pohon. Selain itu, mereka juga membangun rumah kebun di perbukitan karena jarak rumah dengan kebun yang terletak di pegunungan cukup jauh, sehingga mereka tinggal berhari-hari di ladang. Namun, saat ini, rumah pohon masyarakat Kaili jarang dibangun karena banyak pohon yang ditebang untuk perluasan permukiman akibat pertambahan penduduk.
Keberadaan dan penyebaran masyarakat Kaili di kawasan pesisir, pedalaman, dan pegunungan menunjukkan kemampuan mereka beradaptasi dengan berbagai jenis lingkungan dan mampu bertahan hidup di sana. Dalam perkembangannya, masyarakat Kaili mendirikan beberapa kerajaan di Sulawesi Tengah, salah satunya adalah Kerajaan Sigidolo.
Berdasarkan sumber lokal, kerajaan pertama yang didirikan oleh suku Kaili adalah Kerajaan Sigidolo yang dipercaya berdiri pada abad ke-13. Kerajaan ini merupakan salah satu pusat awal peradaban suku Kaili dan memainkan peran penting dalam pembentukan struktur politik, sosial, dan budaya masyarakat Kaili. Kerajaan Sigidolo didirikan oleh pemimpin adat yang dihormati dan berkembang menjadi kekuatan utama di Lembah Palu.
Kerajaan Banawa berpusat di wilayah Banawa dengan raja pertama bernama I Badantasa. Ada juga versi cerita yang mengatakan bahwa kerajaan ini didirikan oleh Sawerigading dan putranya Lagaligo, yang menggunakan perahu layar bernama Banawa. Mereka berlabuh di Pantai Langgalopi, yang kini terletak sekitar 7 km dari Kota Donggala.
Kerajaan Parigi didirikan pada tahun 1515 dan berlokasi di wilayah Parigi, Sulawesi Tengah. Raja pertama di kerajaan ini bernama Makagero, yang dilantik oleh Francisco Lesa, seorang gubernur Portugis. Kerajaan Parigi bergabung dengan Indonesia pada tahun 1960.
Kerajaan Sigi berpusat di Sigi, namun ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1904. Setelah itu, wilayah ini dijadikan distrik. Sebelum penjajahan Belanda, raja-raja di tanah Kaili memiliki daerah kekuasaan masing-masing. Mereka menjalin hubungan kekeluargaan dan perkawinan untuk mempererat kekerabatan dan mencegah pertempuran.
Beberapa istilah yang digunakan di lingkungan kerajaan suku Kaili antara lain Tadulako yang berarti panglima perang, dan sabandara yang berarti bandar pelabuhan. Kerajaan-kerajaan tersebut memiliki sistem pemerintahan tradisional yang khas dan sering menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, termasuk melalui pernikahan, perdagangan, dan diplomasi.
Sebagai suku yang hidup di lembah dan pesisir, suku Kaili memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam. Mereka mengembangkan sistem agraris yang baik, seperti bertani padi, menanam umbi-umbian, serta memanfaatkan sumber daya laut untuk bertahan hidup.
Pada masa penjajahan Belanda, wilayah suku Kaili menjadi salah satu daerah penting karena letaknya yang strategis. Interaksi dengan penjajah dan suku-suku lain di Sulawesi memperkaya budaya mereka, meskipun beberapa aspek tradisional mereka mengalami perubahan.