15 Tradisi Khas Sulawesi Selatan, Simbol Kekayaan Budaya dan Warisan Leluhur

Bukan hanya sekadar upacara, tradisi-tradisi ini juga menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Sulawesi Selatan yang erat, di mana solidaritas dan kebersamaan menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

6. Sigajang Laleng Lipa

 

この投稿をInstagramで見る

 

SANGGAR SENI SAORAJAE(@sanggarsaorajae)がシェアした投稿

Sigajang Laleng Lipa adalah tradisi duel adat masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan, yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik atau pertikaian secara terhormat. Dalam bahasa Bugis-Makassar, Sigajang Laleng Lipa berarti “bertarung di dalam sarung,” yang merujuk pada cara pelaksanaannya, di mana dua orang yang bertikai masuk ke dalam sarung lebar untuk bertarung menggunakan badik (pisau tradisional Bugis-Makassar).

Tradisi ini memiliki aturan ketat dan hanya dilakukan dalam situasi tertentu, seperti saat harga diri atau kehormatan seseorang dipertaruhkan, dan penyelesaian damai tidak lagi memungkinkan. Meski berbahaya, Sigajang Laleng Lipa dipandang sebagai simbol keberanian dan kesatria, serta menunjukkan nilai penghormatan terhadap adat dan martabat.

- Advertisement -

Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi ini kini jarang dilakukan dan lebih sering dianggap sebagai bagian dari sejarah dan warisan budaya Bugis-Makassar. Penyelesaian konflik dalam masyarakat modern cenderung mengutamakan mediasi dan dialog untuk menjaga perdamaian. Sigajang Laleng Lipa tetap menjadi simbol penting yang mengingatkan pada nilai keberanian, kehormatan, dan tanggung jawab dalam budaya Bugis-Makassar.

7. Mappalili

Mappalili adalah upacara adat masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan yang menandai dimulainya musim tanam padi. Upacara ini dilakukan sebagai bentuk permohonan kepada Dewata atau Sang Pencipta agar diberikan keberkahan, hasil panen yang melimpah, serta dijauhkan dari hama dan bencana yang dapat merusak tanaman.

- Advertisement -

Mappalili biasanya dipimpin oleh seorang pemangku adat atau sanro (dukun adat) dan melibatkan serangkaian ritual yang sarat makna. Salah satu ritual utama adalah prosesi akkorongtigi, yakni pembacaan doa dan mantra di sawah untuk “menghidupkan” tanah dan mempersiapkannya bagi tanaman padi. Ritual ini juga disertai persembahan berupa makanan tradisional, hasil bumi, dan sesajen sebagai simbol rasa syukur dan penghormatan kepada alam.

Baca Juga :  5 Rumah Adat NTB dan Filosofinya

Selain aspek spiritual, Mappalili juga menjadi momen sosial yang mempererat hubungan masyarakat. Acara ini sering diiringi tarian, nyanyian tradisional, dan gotong royong dalam mempersiapkan lahan pertanian. Sebagai warisan budaya Bugis-Makassar, Mappalili tidak hanya mencerminkan hubungan manusia dengan alam, tetapi juga menggambarkan semangat kebersamaan dan penghormatan terhadap tradisi agraris yang terus dijaga hingga kini.

8. Passorong

Passorong adalah upacara adat masyarakat Bugis-Makassar yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan atau tanda terima kasih kepada orang yang telah melakukan perbuatan baik atau jasa besar dalam komunitas. Upacara ini seringkali diadakan untuk merayakan keberhasilan, seperti kemenangan dalam pertempuran, keberhasilan dalam usaha, atau pencapaian penting lainnya.

- Advertisement -

Dalam upacara passorong, biasanya akan dilakukan pemberian hadiah atau simbol penghargaan kepada individu yang dihormati. Acara ini sering diiringi dengan upacara adat seperti tarian, nyanyian, dan prosesi tradisional lainnya yang melibatkan kerabat dan masyarakat setempat. Salah satu bentuk penghargaan yang sering diberikan adalah passorong dalam bentuk pakaian adat atau senjata tradisional, sebagai simbol kehormatan.

Meskipun lebih jarang dilakukan di zaman modern, passorong tetap menjadi bagian dari warisan budaya Bugis-Makassar yang mencerminkan rasa penghargaan, kebersamaan, dan solidaritas dalam masyarakat.

9. Maccera’ Tappareng

Maccera’ Tappareng adalah upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Bugis-Makassar, khususnya dalam rangka merayakan perayaan atau syukuran atas suatu keberhasilan atau pencapaian penting, seperti kemenangan dalam pertempuran atau hasil panen yang melimpah. Upacara ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan dan leluhur atas berkat yang diberikan, serta sebagai wujud dari solidaritas dan kebersamaan dalam komunitas.

Dalam Maccera’ Tappareng, salah satu ritual utama yang dilakukan adalah penyembelihan hewan sebagai persembahan. Hewan yang dipilih untuk disembelih, seperti kerbau atau sapi, biasanya akan diikuti dengan prosesi tradisional seperti pemotongan daging dan pembagian hasilnya kepada masyarakat. Ritual ini diiringi dengan doa, nyanyian, serta tarian adat yang menggambarkan rasa syukur dan penghormatan kepada alam dan leluhur.

Baca Juga :  Silondongan, Tradisi Penghormatan dalam Sabung Ayam

Tradisi khas Sulawesi Selatan Upacara Maccera’ Tappareng juga sering kali melibatkan acara makan bersama, di mana seluruh anggota komunitas ikut merayakan dan mempererat ikatan sosial. Secara keseluruhan, Maccera’ Tappareng bukan hanya sebuah perayaan, tetapi juga merupakan wujud dari nilai-nilai kebersamaan, rasa syukur, dan penghormatan terhadap tradisi yang telah dijaga oleh masyarakat Bugis-Makassar selama berabad-abad.

10. Ma’nene

 

Lihat postingan ini di Instagram

 

Sebuah kiriman dibagikan oleh ANTARA Foto (@antarafotocom)

Tradisi khas Sulawesi Selatan selanjutnya adalah Ma’nene,  upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan untuk menghormati dan merayakan kehidupan orang yang telah meninggal. Upacara ini melibatkan prosesi pengambilan jenazah yang sudah dikebumikan dan membersihkannya, kemudian mengganti pakaian jenazah dengan pakaian baru yang lebih baik.

Setelah itu, jenazah tersebut dipamerkan di rumah atau tempat yang dianggap sesuai, untuk kemudian diperlihatkan kepada keluarga dan masyarakat sebagai bentuk penghormatan kepada almarhum.

Tradisi khas Sulawesi Selatan Ma’nene dilakukan sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi orang yang telah meninggal dan merupakan bagian dari siklus kehidupan dalam budaya Toraja. Tradisi ini dilakukan dalam waktu tertentu, biasanya beberapa tahun setelah kematian, tergantung pada keluarga dan adat yang berlaku. Proses ini dianggap penting untuk menjaga hubungan antara yang hidup dan yang telah meninggal, serta untuk memberikan penghormatan terhadap roh leluhur.

Selain membersihkan dan mengganti pakaian jenazah, Ma’nene juga melibatkan acara doa, persembahan makanan, serta kegiatan sosial lainnya yang melibatkan seluruh keluarga dan komunitas. Upacara ini mencerminkan keyakinan masyarakat Toraja bahwa kematian bukanlah akhir, tetapi bagian dari perjalanan yang terus berlanjut ke alam roh, yang perlu dihormati dan dirayakan dengan penuh rasa syukur.

Baca Juga :  32 Ukiran Toraja dan Makna Filosofinya
- Advertisement -