Tradisi Pernikahan Adat Mbojo: Ritual dan Makna dalam Budaya Bima

Pernikahan adat Mbojo di Bima, Nusa Tenggara Barat, merupakan warisan budaya yang kaya dengan simbolisme. Upacara ini melibatkan berbagai tahapan unik, seperti Wi’i Nggahi, Kapanca, hingga Pamaco, yang menggambarkan nilai-nilai keluarga, kehormatan, dan gotong royong.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Dalam budaya masyarakat Bima, pernikahan umumnya dilaksanakan setelah musim panen atau pada bulan-bulan yang memiliki makna religius dalam Islam, seperti bulan Maulid, Rajab, dan Zulhijah.

Pemilihan waktu ini didasarkan pada faktor ekonomi, karena pada saat tersebut masyarakat baru selesai panen, sehingga kondisi ekonomi dianggap lebih stabil.

Sebaliknya, terdapat juga bulan yang dianggap tidak baik untuk melangsungkan pernikahan, seperti bulan Zulqaidah, yang oleh masyarakat Bima dikenal sebagai Wura Hela, di mana “wura” berarti bulan dan “hela” berarti kosong. Pada bulan ini, kondisi ekonomi biasanya belum siap karena belum dilakukan proses bercocok tanam.

- Advertisement -

Syarat Pernikahan dalam Masyarakat Bima

Dalam masyarakat Bima, syarat-syarat pernikahan umumnya mengikuti ketentuan hukum Islam. Namun, terdapat pula beberapa syarat khusus yang dianggap lebih penting, seperti juhlah co’i atau mas kawin, yang meskipun dalam Islam tidak ada ketentuan pasti terkait jumlahnya, tetap menjadi syarat penting.

Selain itu, persetujuan orang tua juga sangat menentukan apakah pernikahan bisa dilanjutkan atau tidak.

Jika orang tua pihak perempuan kurang setuju dengan calon mempelai pria, mereka biasanya mengajukan permintaan mas kawin yang tinggi sebagai cara halus untuk menolak lamaran. Jika calon mempelai pria tidak mampu memenuhi permintaan tersebut, pernikahan biasanya ditunda atau dibatalkan.

- Advertisement -

Tradisi Perkawinan Masyarakat Mbojo

Di masa lalu, masyarakat Mbojo terkadang mengadakan pernikahan dengan sistem cepe kanefe, di mana pernikahan dilangsungkan saat kedua belah pihak masih anak-anak, dan mereka dibiarkan tanpa campur tangan hingga mencapai usia dewasa.

Pernikahan Adat Mbojo
Pernikahan Adat Mbojo

Ini menunjukkan bahwa usia tidak selalu menjadi faktor utama dalam pernikahan di kalangan masyarakat Mbojo. Jika seorang perempuan tidak menikah hingga usia lanjut, ia akan disebut mbaru tua, yang bisa disebabkan oleh keinginan orang tuanya untuk menjodohkannya dengan seseorang yang ia tolak, atau karena status ekonomi keluarga yang kaya sehingga mengharapkan anaknya menikah dengan pasangan yang sepadan.

Baca Juga :  Makna dan Sejarah Baju Jas Tutu', Pakian Adat Orang Bugis

Tahapan Pernikahan Adat Bima

Upacara pernikahan adat Bima memiliki beberapa tahapan, yang dimulai dari proses mencari jodoh. Seorang pemuda (Sampela Mone) dan gadis (Sampela Siwe) biasanya menjalani hubungan cinta yang dikenal sebagai Ne’e Angi.

- Advertisement -

Pada tahap ini, interaksi mereka sangat terbatas, bahkan seringkali pemuda segan untuk mengunjungi rumah gadis pujaannya, dan gadis juga takut untuk menyambut pemuda tersebut di hadapan keluarganya.

Jika hubungan mereka dianggap serius, pihak pemuda akan mengutus seorang utusan yang disebut Ompu Panati untuk melamar gadis tersebut. Lamaran ini disebut lao sodi siwe, yang merupakan tahap awal sebelum pernikahan dilangsungkan.

Jika lamaran diterima, maka pasangan tersebut secara resmi bertunangan melalui upacara yang dikenal sebagai Wi’i Nggahi. Upacara ini melibatkan pemberian simbolis yang menandakan bahwa pertunangan telah disahkan.

Pernikahan Adat Mbojo
Salah satu prosesi pernikahan di Bima

Upacara Kapanca dan Hengga Dindi

Sebelum akad nikah, calon pengantin perempuan akan menjalani upacara Kapanca. Upacara ini dihadiri oleh kaum wanita, di mana mereka memberikan restu kepada calon pengantin perempuan. Acara tersebut biasanya diiringi dengan pembacaan Barzanji dan dzikir, serta ditutup dengan doa bersama.

Setelah akad nikah, dilangsungkan upacara Hengga Dindi, di mana pengantin pria dipersilakan masuk ke kamar pengantin perempuan setelah melalui berbagai ritual adat. Pengantin pria ditemani oleh tokoh adat dan harus berdiri di luar tabir pemisah, atau Dindi Satampa, sebelum diperkenankan menemui istrinya.

Pamaco: Kegiatan Adat Pasca Pernikahan

Setelah kedua mempelai tiba di tempat upacara, biasanya dilakukan upacara Pamaco atau Jambuta. Acara ini melibatkan pemberian sumbangan berupa uang atau barang dari para tamu undangan kepada kedua pengantin sebagai bentuk dukungan dan restu. Upacara ini biasanya diadakan di Paruga, sebuah bangunan tradisional, dan sering kali dilakukan pada sore hari.

Baca Juga :  Asal Usul Suku Selayar, Penghuni Pulau Selayar

Dengan adanya serangkaian upacara tersebut, pernikahan dalam adat Mbojo tidak hanya merupakan ikatan antara dua individu, tetapi juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan sosial antar keluarga serta komunitas dalam konteks yang lebih luas.

- Advertisement -