Di pedalaman Kalimantan Utara, terdapat satu ritual menawan dari Suku Tidung yang dikenal dengan sebutan bepupur. Sebuah tradisi yang membawa calon pengantin ke dalam nuansa kesucian, memastikan bahwa mereka siap memulai perjalanan baru dalam hidup mereka.
Tradisi unik ini melibatkan pengolesan bedak dingin ke seluruh tubuh calon pengantin, baik pria maupun wanita, yang dilakukan pada malam hari di kediaman mereka. Bahan dasar dari bedak ini adalah campuran tepung beras, tepung sagu, dan air, yang dioleskan oleh para tetua atau orang tua yang dihormati.
Bepupur bukan hanya ritual kecantikan, tetapi simbol kebersihan jiwa dan pikiran. Calon pengantin dianggap telah disucikan dan siap memulai kehidupan rumah tangga. Harapan akan keberkahan dan kebahagiaan juga turut mengiringi bagi mereka yang menjalani tradisi ini.
Selama proses bepupur, suasana dipenuhi alunan musik tradisional yang menenangkan seperti kesenian hadrah dan japing. Hadrah dimainkan dengan rebana, sementara japing adalah tarian yang diiringi gong dan gendang. Harmoni ini memperkuat makna sakral dari prosesi tersebut.
Sejarah bepupur menelusuri ratusan tahun silam, diwariskan oleh nenek moyang Suku Tidung. Ia bukan sekadar ritual, melainkan bagian dari identitas budaya yang menggambarkan kearifan lokal.
Seiring waktu, tradisi ini mendapat perhatian dari pemerintah daerah yang berupaya melestarikannya. Melalui festival budaya seperti Festival Budaya Irau Tana Tidung dan Festival Budaya Bintang Timur, bepupur diperkenalkan lebih luas agar budaya lokal tetap hidup dan dikenal oleh generasi mendatang.
Tradisi bepupur menandai kekayaan budaya Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur masyarakatnya. Upaya pelestarian tradisi ini adalah langkah penting dalam menjaga warisan budaya yang berharga, memastikan bahwa praktik lokal yang kaya makna ini terus bertahan untuk dapat dinikmati generasi selanjutnya.