Tradisi Baku Pukul Manyapu, Unik Dan Kontroversi

Tradisi Baku Pukul Manyapu merupakan salah satu atraksi dimana dua kelompok secara bergantian saling pukul menggunakan sapu lidi.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Pernah diperebutkan oleh bangsa Eropa karena kekayaan rempahnya, Maluku juga kaya akan kebudayaan dan tradisinya. Salah satu yang unik dan kontroversial yakni Tradisi Baku Pukul Manyapu, atau biasa juga disebut dengan Tradisi Pukul Manyapu. Tradisi ini telah mengakar di Maluku sejak ratusan tahun yang lalu.

Tradisi Baku Pukul Manyapu merupakan salah satu atraksi dimana dua kelompok secara bergantian saling pukul menggunakan sapu lidi. Selain permainan perang sapu lidi, tradisi juga dilengkapi dengan beragam permainan lainnya, seperti permainan rebana, karnaval budaya dan pertunjukan tari lokal.

Asal Muasal Tradisi

- Advertisement -

Tradisi Pukul Manyapu ini telah ada sejak abad XVII. Tradisi ini telah dilakukan secara turun temurun untuk mengenang keberhasilan pembangunan masjid tanpa menggunakan paku atau ‘ping’ di Mamala. Dulu, tersebutlah salah seorang imam masjid bernama Imam Tuni.

Bersama dengan dua kawan karibnya, beliau berniat untuk mendirikan masjid. Bahan-bahan dan segala hal telah dipersiapkan, namun pendirian masjid ini mengalami sedikit kendala untuk menyambungkan kayu yang akan digunakan sebagai tiang penyangga. Sang Imam pun berdoa dan berpuasa untuk memohon pencerahan kepada Tuhan.

Alhasil, dalam mimpinya Imam Tuni diminta untuk menyambung kayu-kayu tersebut menggunakan minyak “Nyualaing Matetu” atau yang lebih dikenal dengan minyak “Tasala”. Minyak inilah yang kemudian digunakan untuk membasahi potongan kain putih yang dipakai menyambung kayu-kayu tersebut. Keberhasilan ini kemudian dirayakan setiap tanggal 7 Syawal (pertanggalan Islam).

- Advertisement -

Kenang Pejuang Kemerdekaan

Dominasi pemuda dan pemula belasan tahun dalam aksi Baku Pukul Manyapu. FOTO: Baronda.id

Selain sebagai simbol perayaan pembangunan masjid, tradisi ini juga diasosiasikan dengan perjuangan para tokoh di Maluku untuk mengusir para penjajah.

Tradisi ini dilaksanakan dalam rangka mengenang perjuangan Kapitan Tulukabessy beserta pasukannya melawan penjajahan VOC Belanda dalam perang Kapahaha (1643-1646 M). Kapahaha adalah bukit batu terjal di hutan Negeri Morela, yang merupakan benteng terakhir yang jatuh ke Belanda di Pulau Ambon.

- Advertisement -
Baca Juga :  Kenapa Toraja Begitu Berbeda?

Para pejuang yang sempat tertangkap dalam penyerbuan itu disiksa sebagai tawanan di Teluk Sawatelu selama tiga bulan. Sang Kapitan berhasi lolos, meskipun kemudian ia menyerahkan diri hingga akhirnya digantung serta dibuang di Pantai Namalatu.

Menurut Maryam R.L Lestaluhu dalam buku “Sejarah perlawanan masyarakat Islam terhadap imperialisme di daerah Maluku”, sepeninggal Kapitan Tulukabessy, para tawanan Kapahaha dibebaskan, beberapa ditahan di Batavia dan Makassar.

Pada momen inilah, pukul sapu menjadi ungkapan spontan kesedihan atas perpisahan mereka. Kerasnya perjuangan serta perihnya pengorbanan para pejuang ini yang akhirnya menjadi cikal bakal tradisi ini.

Sebagai Simbol Perdamaian

Seorang tokoh agama di Negeri Mamala memoleskan minyak Mamala yang dipercaya dapat menyembuhkan bekas luka sabetan lidi dari Atraksi Pukul Sapu di Malama, Maluku Tengah. ANTARA FOTO/Atika Fauziyyah

Tradisi ini umumnya dilakukan di desa Mamala dan Morella. Tradisi Pukul Manyapu juga menjadi bagian dari acara syukuran perdamaian antara warga Mamala dan Morella.

Selain itu, tradisi ini juga dipandang sebagai alat untuk pererat tali silaturahmi antara kedua desa. Meskipun saling memukul selama permainan berlangsung, kedua kubu yang bermain tak menyimpan adanya satu kekesalan dan dendam di antara mereka.

Dalam pertunjukan ini, 20 orang dari masing masing kubu mengenakan ikat kepala untuk menutupi telinga agar terhindar dari sabetan lidi. Adapun bagian tubuh yang boleh dipukul yakni bagian dada hingga perut.

Masing-masing kubu memiliki seragam masing masing. Satu kubu mengenakan celana berwarna merah, dan kubu yang lain memakai celana putih atau hitam.

Sapu yang digunakan yakni lidi dari pohon enau dengan panjang kira- kira 1,5 meter. Pertunjukan tahunan ini juga mendapat perhatian luar biasa dari pemerintah maupun turis lokal dan mancanegara.

- Advertisement -