Tolotang | Dalam budaya Bugis, naskah kuno Sureq Galigo menyimpan berbagai nilai, seperti nilai religius, budaya, dan konsep asal-usul manusia yang terjalin dalam kisah epik Batara Guru dan Sawerigading. Sureq Galigo, yang ditulis antara abad ke-13 hingga ke-15 oleh pujangga La Galigo, berkembang melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan dalam acara tradisional penting.
Mitologi Bugis mengisahkan penciptaan dunia, yang terbagi menjadi tiga bagian: botilangnga (langit), kawah (bumi), dan buri’ liung (bawah tanah). Di atas, Dewa Penguasa (Patoto’e) melihat bumi kosong, sehingga memutuskan menurunkan anaknya, Batara Guru, sebagai penghuni pertama. Ia ditemani oleh wanita dari dunia bawah bernama We Nyiliq Timoq, yang akhirnya menjadi pendampingnya dan melahirkan Batara Lattu’.
Generasi penerus Batara Lattu’ terus mengembangkan dunia, termasuk Sawerigading yang diceritakan melakukan perjalanan epik hingga negeri Tiongkok demi menikahi Wecudai. Dari pernikahan ini lahirlah tokoh Lagaligo, yang kemudian menjadi simbol peradaban manusia Bugis. Keturunan Sawerigading membangun kerajaan-kerajaan, termasuk Wajo yang merupakan salah satu pusat budaya dan kekuasaan Bugis.
Masyarakat Indonesia, yang heterogen dalam berbagai aspek, telah mewarisi budaya, norma, dan tradisi yang diwariskan lintas generasi. Warisan ini diterima sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas mereka, bahkan menjadi landasan hidup dan kepercayaan dalam masyarakat sehari-hari.
Lahirnya kepercayaan Tolotang diyakini berawal dari seorang tokoh bernama Lapanaungi yang mengalami wahyu gaib saat menjalankan ritual pada abad ke-17. Ia mendengar suara yang menyebutkan diri sebagai Dewata Sewae, yang menyampaikan ajaran baru kepada Lapanaungi dengan syarat untuk bersuci terlebih dahulu. Dari sinilah lahir ajaran Tolotang, sebuah kepercayaan yang diwarisi turun-temurun oleh komunitas ini.
Pada tahun 1610, saat Islam masuk ke Wajo, masyarakat Tolotang menolak untuk beralih ke agama tersebut, meskipun diperintahkan oleh raja. Hal ini membuat mereka harus keluar dari wilayah asal dan hijrah ke Sidenreng Rappang, dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Ipa Beres dan Goliga.
Komunitas Tolotang akhirnya menetap di Amparita, Sidenreng, setelah mendapat izin dari Raja Sidenreng dengan syarat mereka mengikuti beberapa adat setempat, seperti menggabungkan upacara pernikahan dan kematian dengan tata cara Islam.
Namun, seiring waktu, praktik Tolotang mengalami perubahan. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1944, aturan mengenai kewajiban ritual Islam bagi komunitas ini dihapuskan.
Sejak saat itu, mereka mulai mengatur upacara kematian dan ritual mereka sesuai dengan ajaran Tolotang. Hingga kini, komunitas Tolotang masih mempertahankan kepercayaan warisan Sawerigading, yang memuja Dewata Sewae atau Tuhan yang mereka yakini sebagai Patoto’e, sebagai pengatur nasib dan kehidupan mereka.
Ritual tahunan komunitas Tolotang dikenal sebagai acara berkumpul yang melibatkan anggota komunitas dari berbagai daerah, bahkan beberapa dari luar negeri, yang hadir untuk berdoa bersama kepada Dewata Sewae. Dalam ritual ini, mereka membawa makanan khas dan berbagi persembahan sebagai wujud pengabdian mereka.
\Salah satu tradisi penting adalah ziarah ke makam tokoh leluhur mereka, Ipa Bere. Sebelum wafat, Ipa Bere mewasiatkan kepada anak cucunya untuk datang ke makamnya, membawa minyak wangi sebagai simbol penghormatan dan doa untuk keselamatan mereka.