Di bawah sinar rembulan yang memantul di permukaan air bakau Kalimantan Utara, sekelompok nelayan suku Tidung menyusuri lumpur berlendir, mencari jejak kehidupan prasejarah yang masih bertahan di dunia modern—temberungun (Telescopium telescopium). Sejenis keong laut berwarna hitam kehijauan dengan cangkang spiralnya yang menyerupai antena alien, makhluk ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di pesisir sejak zaman leluhur.
Mereka yang masih menjaga warisan ini tahu bahwa temberungun bukan sekadar makanan; ia adalah serpihan sejarah yang tersimpan dalam tubuhnya yang kenyal. Dengan kandungan protein sebesar 12,16% dan kadar lemak hanya 0,38%, menurut penelitian yang dilakukan pada awal abad ke-21, keong laut ini telah menjadi sumber energi bagi generasi nelayan yang menantang samudra. Namun, di era modern yang serba cepat dan penuh dengan teknologi pangan sintetis, keberadaannya mulai menjadi legenda yang semakin pudar.
Acil Ming, salah satu penjaga tradisi ini, mengisahkan bagaimana temberungun pernah menjadi hidangan utama dalam perayaan suku Tidung, dari pernikahan hingga ritual adat yang nyaris terlupakan. “Selama orang Tidung-Bulungan masih bekerja sebagai nelayan, temberungun akan tetap ada,” ujarnya dengan nada yakin, meski di matanya tersirat kecemasan.
@moewild.77 Lawar temberungun #lawar #pacco #berungeng #temberungun #lawa #food ♬ Mari Menari ( Sape Dayak Kalimantan ) – Sae Sagara
Ia tahu bahwa kini, mendapatkan temberungun tidak semudah dulu. Dahulu, anak-anak nelayan bisa dengan mudah menemukan satu karung keong laut ini di antara akar bakau yang menjulang seperti lengan raksasa purba. Sekarang, mereka harus berjuang lebih keras, menyusuri celah-celah ekosistem yang semakin terkikis.
Keket, seorang penjaga tradisi lainnya, membagikan pengalamannya mencari temberungun bersama suami dan orang tuanya. “Dulu, laut memberikan dengan mudah. Sekarang, kita harus lebih sabar. Tapi, selama masih ada yang mencarinya, temberungun akan tetap bertahan,” katanya. Ia percaya bahwa dengan menghidupkan kembali tradisi memasak temberungun dalam perlombaan kuliner atau acara budaya, makhluk laut ini tak akan sekadar menjadi fosil hidup dalam catatan sejarah.
Mungkin di masa depan, di antara gemerlap kota megapolitan yang membentang dari daratan, temberungun akan tetap dikenang. Tidak hanya sebagai makanan, tetapi sebagai simbol keteguhan dan keterikatan manusia dengan alam—jejak terakhir dari hubungan purba yang terjalin antara manusia dan laut.
Selama ada tangan yang masih mau menggali lumpur, selama ada lidah yang merindukan rasa aslinya, temberungun akan terus hidup, bukan hanya dalam cerita, tetapi dalam kenyataan yang terus berkembang di antara zaman.