Tari Lenggang Nyai: Langkah Seorang Perempuan Melawan Takdir
Lihat postingan ini di Instagram
Jika Tari Topeng berakar dari zaman sebelum republik ini berdiri, maka Tari Lenggang Nyai hadir dari babak yang lebih baru dalam sejarah Betawi. Tarian ini muncul pada awal 2000-an, namun cepat mengakar sebagai bagian dari identitas budaya Jakarta. Meski masih muda, ia membawa semangat yang tua: perjuangan dan kebebasan.
Di balik langkah-langkah lincah para penarinya, Tari Lenggang Nyai menyimpan kisah Nyai Dasimah, seorang perempuan Betawi yang hidup di Batavia pada masa kolonial Inggris. Ia dihadapkan pada dilema: menikahi pria pribumi atau seorang Inggris bernama Edward William. Dasimah memilih yang kedua, namun pernikahan itu justru mengurungnya dalam belenggu kekuasaan dan perlakuan semena-mena.
Namun, kisahnya tak berakhir di sana. Nyai Dasimah bangkit, menuntut haknya, memperjuangkan cintanya, dan memilih dirinya sendiri. Semangat itu yang kemudian ditangkap seniman Wiwik Widiastuti dalam bentuk tarian—Tari Lenggang Nyai menjadi nyanyian tubuh tentang perempuan yang berani melawan.
Gerakannya lincah dan penuh keceriaan, mencerminkan jiwa Dasimah yang hidup dan dinamis. Tapi di sela-selanya, terselip langkah yang berat dan galau—simbol dari pertarungan batin dan luka yang ia bawa. Dalam tarian ini, tubuh penari menjelma medan konflik antara kebebasan dan pengekangan, antara cinta dan kuasa.
Ruang Cerita dalam Setiap Langkah
Kedua tarian ini kerap tampil dalam perayaan budaya Betawi, berdampingan dengan tarian-tarian lain seperti Yapong, Cokek, atau Ondel-Ondel. Namun yang membuat Tari Topeng Betawi dan Tari Lenggang Nyai menonjol adalah kekuatan naratifnya. Mereka bukan sekadar tarian, tapi cerita yang bergerak.
Seperti warna merah cerah pada kostumnya, dan hiasan kepala khas Tionghoa yang menjuntai di kepala para penari, kedua tarian ini adalah simbol akulturasi, perlawanan, dan kebanggaan. Jakarta bukan kota yang lupa, ia hanya menyimpan ceritanya dalam bentuk yang lain—dalam topeng-topeng kayu dan langkah-langkah tarian di panggung rakyat.
Dan di situlah, kita mendengar kembali suara-suara lama yang tak pernah benar-benar hilang: suara tentang manusia, pilihan, takdir, dan keberanian untuk melawan.