Mereka datang bukan untuk menaklukkan, tapi mengajarkan. Dari gerakan mereka, manusia belajar hidup: berburu, bertani, beternak, dan menghormati alam semesta.
Sebagai wujud rasa syukur, manusia pun meniru gerakan para makhluk langit itu. Mereka menari. Menarikan kembali kisah-kisah surgawi dalam langkah bumi. Inilah yang kelak dikenal sebagai Tari Pakarena—sebuah tarian sakral, lembut, dan sarat makna yang hingga kini masih menari dalam denyut nadi budaya Makassar.
Di balik setiap lipatan kipas yang dibuka perlahan, ada kisah tentang perempuan pertama yang turun dari langit—To Manurung Li Tamalate. Dialah tokoh dalam legenda yang dipercaya sebagai pencetus pertama tarian ini, sekaligus ratu pertama Kerajaan Gowa. Tak heran jika Tari Pakarena begitu feminin, anggun, dan seolah-olah memang ditarikan oleh para bidadari.
Nama pakarena sendiri berasal dari kata “pa” yang berarti tari, dan “karena” yang berarti bermain. Maka pakarena adalah tarian permainan, meskipun permainan di sini bukan sembarangan. Ia adalah permainan yang mencerminkan filosofi hidup. Permainan yang penuh tata krama, aturan, dan pesan tersembunyi.
Tari ini hampir selalu dibawakan oleh kelompok perempuan, biasanya antara tujuh hingga sepuluh orang. Mereka melangkah dengan tempo lambat, anggun, dan beraturan. Tidak terburu-buru, tidak meledak-ledak. Setiap gerakan seperti bunga yang mekar dalam kesabaran.
Kontras dengan itu, musik pengiringnya justru menggelegar: gandrang, gong, puipui, dan rebana yang saling bersahutan. Bukan tanpa alasan—musik keras ini dipercaya mewakili semangat dan ketegasan laki-laki Makassar, sementara gerak penari menyimbolkan kelembutan dan keteguhan perempuan. Di situlah keseimbangan alam ditampilkan di panggung: keras dan lembut, semangat dan ketenangan, siang dan malam.
Lihat postingan ini di Instagram
Dalam pertunjukannya, Tari Pakarena biasanya terdiri dari 12 tahapan gerakan. Tiap tahap memuat filosofi tersendiri: ada gerakan berputar searah jarum jam yang melambangkan siklus kehidupan, serta gerakan naik-turun yang merepresentasikan jatuh bangunnya manusia dalam menapaki hidup. Bahkan cara penari membuka dan menutup kipas pun punya arti—dari awal hingga akhir, semuanya adalah pesan.
Kipas yang menjadi ikon tarian ini bukan sekadar hiasan. Dalam kepercayaan lama, kipas besar yang digunakan penari melambangkan padi dan hasil bumi, sebagai lambang kesyukuran dan kemakmuran. Ada pula yang menyebut bahwa tarian ini berasal dari ritual panen, sebagai permohonan pada langit agar hasil bumi tetap melimpah.
Pada masa Kerajaan Gowa–Tallo, pakarena difungsikan sebagai tarian istana. Salah satu pendorong utamanya adalah I Li’motakontu, ibu dari Sultan Hasanuddin, yang menjadikan tarian ini sebagai bagian tak terpisahkan dari upacara kerajaan. Dikisahkan, pada masa itu tari pakarena bisa berlangsung berjam-jam tanpa henti—bukan karena tuntutan, tetapi karena penghayatan.
Setelah masa kemerdekaan, pakarena mengalami transformasi. Seniman-seniman lokal mengolahnya agar bisa lebih diterima oleh khalayak luas, tanpa mengurangi ruh dan nilai-nilai aslinya.
Maka lahirlah berbagai versi lokal: dari Gowa, Takalar, hingga Pulau Selayar yang memiliki pakarena gantarang dengan ciri khasnya sendiri. Beberapa versi pun menggabungkannya dengan nyanyian lelle, kelong, atau dondo samboritta, menambahkan nuansa magis dalam setiap penampilan.
Kini, Tari Pakarena tidak hanya hidup dalam istana, tapi juga dalam festival, pentas seni, dan sambutan bagi siapa pun yang datang ke tanah Makassar. Setiap liuk tangan penari yang membentangkan kipas sutra, setiap lenggok langkah dalam balutan baju bodo, adalah undangan: untuk memahami bahwa dalam keanggunan, ada kekuatan. Dalam kelembutan, ada keyakinan. Dalam tradisi, tersimpan warisan langit.
Menonton Tari Pakarena bukan sekadar menyaksikan pertunjukan seni. Ia adalah pengalaman menyelami filsafat hidup orang Makassar—tentang keseimbangan, tentang keteguhan, dan tentang menghormati asal-usul. Karena dalam setiap tarian, selalu ada cerita yang menari di antara gerak dan diam.