Di ujung Tapanuli Tengah, sebuah terowongan membelah bukit dengan keanggunan penuh misteri. Batu Lubang, begitu masyarakat menyebutnya, adalah saksi bisu dari perjalanan waktu yang membentang dari tahun 1900 hingga 1930, kala kekuatan kolonial Belanda mengukir sejarah dengan tangan rakyat pribumi.
Dikisahkan bahwa terowongan ini bukan sekadar jalur transportasi. Ia adalah hasil dari proyek besar Belanda untuk menghubungkan Sibolga dengan Tarutung, demi mempermudah pengangkutan hasil bumi dari tanah Batak dan menumpas laskar kemerdekaan.
Namun, bukan mesin canggih atau teknologi modern yang membuka jalan ini, melainkan peluh dan darah para pekerja rodi—rakyat jelata, tawanan, dan para pejuang yang dipaksa untuk memahat bukit dengan tangan kosong.
Di bawah pengawasan pasukan kolonial, langkah kecil demi langkah kecil bukit itu dilubangi, dikerjakan tanpa henti. Tapi, sebelum Batu Lubang sepenuhnya rampung, datanglah babak baru penjajahan. Jepang menyerang Belanda, merebut wilayah Nusantara, dan melanjutkan warisan kelam kerja paksa. Banyak nyawa melayang, terkubur tanpa nama di bawah bayang-bayang terowongan yang gelap.
Kini, Batu Lubang menjadi tempat yang membawa perasaan campur aduk bagi para pelintasnya. Dengan panjang 10 meter untuk terowongan pertama dan 8 meter untuk terowongan kedua, keduanya menyimpan cerita tragis di antara dinding-dindingnya yang lembap.
Bagi sebagian orang, melintasinya adalah pengalaman mistis—aroma lembap, udara dingin, dan suara klakson kendaraan yang menggema di dalam bukit, seolah memanggil roh-roh masa lalu.
Namun, di tengah cerita suram itu, Batu Lubang tetap menawarkan pesona yang sulit diabaikan. Sebuah air terjun jernih mengalir di atas terowongan, menyuguhkan pemandangan magis yang kontras dengan sejarah kelamnya.
Perjalanan 7 kilometer dari Sibolga menuju Tarutung akan membawa siapa saja ke pintu waktu, melintasi jejak para leluhur yang pernah berjuang dalam diam, meninggalkan kita warisan untuk dikenang.
Batu Lubang bukan sekadar terowongan; ia adalah sebuah monumen, simbol dari tekad yang dipahat di antara tragedi. Di sinilah, sejarah, mitos, dan alam berpadu dalam satu harmoni yang tak pernah mati.