Menjelang senja, puluhan orang mulai menari diiringi musik cepat sambil bertinju dengan cara yang unik. Alih-alih saling memukul, mereka mengarahkan kepalan tangan untuk merobek wadah anyaman daun lontar yang berisi jerami. Ketegangan meningkat saat jerami berhamburan ke udara, disertai gelak tawa riang peserta di tengah debu yang menyelimuti.
Inilah suasana dalam Sadok Nonga, tinju tradisional yang berasal dari Desa Bantala, Larantuka, Flores Timur. Tradisi ini digelar pada hari terakhir panen padi di sekitar mazbah yang terletak di tengah ladang.
Padi yang terakhir dipanen disimpan dalam wadah bernama karanee berukuran sedang, yang kemudian dibawa ke pondok adat (lumbung) untuk dikumpulkan dengan padi lainnya.
Selain itu, ada pula wadah lebih kecil yang diisi jerami. Wadah ini dibawa oleh pria-pria ke sekitar mazbah, sembari mereka meneriakkan tantangan kepada pria-pria lain di sekitarnya.
Tantangan tersebut dijawab dengan upaya merusak wadah tersebut—dengan memukul, menyobek, atau menembusnya sampai berlubang dan jerami berhamburan. Pembawa karanee mencari penantangnya, dan yang tertantang harus berhasil merusak wadah tersebut. Tradisi ini pun menjadi ajang tinju spontan yang penuh semangat dan keceriaan.
Tradisi Sadok Nonga sebenarnya adalah sebuah tinju tradisional yang digelar pada hari terakhir panen padi. Tidak ada pemenang atau pecundang dalam tradisi ini; tujuannya adalah untuk merayakan kegembiraan dan keberhasilan panen yang telah dilakukan sepanjang musim.
Tradisi ini bukan hanya sebagai simbol kesuburan dan hasil kerja keras, tetapi juga untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan komunitas di Bantala dan Lewolema.
Sadok Nonga terdiri dari dua kata: sadok yang berarti tinju, dan nonga yang merujuk pada wadah atau media tempat tinjuan dari lawan ditampung. Wadah ini terbuat dari daun lontar yang dianyam membentuk kantong, dikenal dengan sebutan kara Ne’e.
Tinju ini biasanya dilakukan di sekitar mesbah (Padu era) yang terletak di tengah kebun adat pada hari terakhir panen. Padi yang terakhir dipanen akan disimpan dalam wadah kecil, lalu dibawa menuju tempat penyimpanan padi yang lebih besar.
Wadah tersebut diisi dengan jerami dan dibawa oleh para pria menuju mesbah, disertai dengan teriakan sebagai tantangan kepada pria lain yang ingin berpartisipasi dalam tinju tersebut.
Tidak ada kemenangan atau kekalahan dalam tinju tradisional ini, karena yang lebih penting adalah ekspresi sukacita, semangat, dan kebersamaan masyarakat Bantala dan Lewolema atas hasil kerja keras dalam bertani.
Tradisi ini juga melambangkan kesuburan, serta simbol dari proses perkawinan antara pria dan wanita, yang nantinya akan menghasilkan kehidupan baru.