Kabupaten Mimika, yang terletak di Provinsi Papua Tengah, adalah rumah bagi beragam suku asli yang memiliki budaya unik dan tradisi yang kaya. Di antara suku-suku ini, suku Kamoro memegang tradisi khusus yang melibatkan pembangunan dan penggunaan rumah tradisional bernama Karapauw Kame.
Suku Kamoro adalah salah satu suku yang mendiami wilayah ini, dan rumah tradisional Karapauw Kame mereka digunakan sebagai tempat pendidikan pendewasaan bagi anak-anak dan remaja laki-laki serta perempuan. Rumah ini dapat ditemukan di sekitar Kampung Atuka, Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimika.
Tradisi membangun Karapauw Kame telah berlangsung selama berabad-abad, dan rumah ini didirikan sebagai tempat untuk melatih dan mempersiapkan anak-anak selama 3-4 tahun, sesuai dengan tradisi mereka. Yang menarik, setelah selesai masa pendidikan, Karapauw Kame akan dibongkar kembali.
Setiap kampung suku Kamoro memiliki rumah tradisional Karapauw Kame, yang biasanya didirikan di tengah kampung. Rumah Karapauw Kame dibangun setiap 3-4 tahun sekali sebagai rumah mengadakan inisiasi atau pendidikan pendewasaan. Di dalam Karapauw Kame, anak laki-laki dan perempuan akan belajar bagaimana berperilaku dan bertindak sesuai dengan peran gender mereka.
Inisiasi ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu inisiasi sosial dan inisiasi kultus. Selama inisiasi sosial, para remaja akan diperkenalkan dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat mereka, sementara inisiasi kultus akan memperkenalkan mereka pada penghayatan aspek-aspek kultus, otape, dan ritual.
Inisiasi kultus biasanya hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki tanpa pengecualian. Setelah melewati inisiasi ini, mereka juga akan menjalani inisiasi perorangan yang melibatkan serangkaian ritual rahasia. Sementara itu, perempuan akan menerima otape dan mempelajari sejumlah pelajaran tentang peran kaum wanita dalam kehidupan sosial.
Inisiasi sosial sering dimulai dengan pesta taori yang melibatkan tali sagu dan berakhir dengan mirinu, yang merupakan pesta pernikahan. Partisipasi anak laki-laki dalam pesta taori sebagai awal dari inisiasi ditentukan oleh orang tua mereka. Rentang usia yang diperbolehkan untuk ikut dalam pesta ini adalah antara 10 hingga 20 tahun.
Inisiasi ini akan ditutup dengan pesta taori di sore hari, di mana anak-anak menghiasi tubuh mereka dengan berbagai elemen seperti arang, bulu cenderawasih, kapur, dan tanah merah. Mereka kemudian diarak keliling kampung, diikuti oleh orang tua yang membawa sebuah noken berisi sagu.
Setelah pesta taori selesai, anak laki-laki akan menerima cawat, yang merupakan sehelai kain penutup kemaluan yang terbuat dari serat sagu. Saat itulah mereka dianggap telah menjadi dewasa dalam tradisi suku Kamoro.
Suku Komoro
Suku Kamoro, yang berjumlah lebih dari 18.000 jiwa, merupakan masyarakat yang tersebar di sekitar 40 kampung di wilayah pesisir selatan Papua. Wilayah ini membentang sepanjang 300 kilometer, meliputi daerah sepanjang Sungai Otakwa hingga Teluk Etna. Beberapa kampung Kamoro juga terletak di daerah pegunungan yang jauh dari pantai Laut Arafura.
Mayoritas penduduk suku Kamoro menggantungkan hidup mereka pada meramu sagu dan menangkap ikan. Mereka juga terampil dalam berburu hewan seperti babi hutan, kasuari, dan kasuari. Selain itu, hewan-hewan yang mungkin dianggap tidak lazim oleh beberapa orang, seperti tambelo (cacing), kadal bakau, buaya laut, dan ulat sagu (koo), juga menjadi bagian dari diet sehari-hari mereka.
Dalam hal keyakinan, orang Kamoro menganut agama animisme dan animisme. Mereka memiliki keyakinan yang kuat terhadap berbagai elemen alam, dan pohon adalah salah satu entitas yang sangat dihormati dan dianggap suci dalam budaya mereka.
Bagi mereka, setiap tumbuhan, binatang, dan benda memiliki roh atau keberadaan spiritual, dan masing-masing diberi nama berdasarkan moyan (nama mereka). Pohon-pohon dan binatang-binatang ini terkait dengan keyakinan totemisme, yang merujuk pada hubungan khusus antara suatu kelompok dengan makhluk tertentu yang dianggap sebagai totem atau entitas spiritual pelindung mereka.