“Jalanku lambat tapi saya cukup kuat untuk sampai puncak. Kalian duluan saja, tunggu saya di pos selanjutnya. Namun bila saya tidak kunjung sampai disana selama 1 jam, tolong susul saya, mungkin terjadi kenapa padaku”
Rasa egois kadang harus disingkirkan saat melakukan suatu perjalan. Sebagai salah satu rombongan pendaki rinjani yang paling lemah dan beban paling ringan namun jalannya paling labat, aku selalu memesankan agar rekan seperjalananku yang punya bawaan lebih banyak untuk jalan lebih dahulu.
Aku cukup berani untuk itu. Berjalan menyusuri jalan setapak dibuai angin pengunung yang menerpa wajah seorang diri. Jalur rinjani yang terbuka dan ramai cukup memberiku rasa aman. Aku sadar hidup harus dinikmati.
Karena negeri ini senantiasa memberi keindahannya. Terlalu memaksakan diri berjalan tanpa henti hanya akan membuatku tak menikmati indahnya lelah menuju puncak.
Bulir-bulir keringat terus bercucuran. Bunyi hentakan kaki, makin lama makin pelan. Ritmehnya menurut seiring menemukan tanjakan.
Bagi seseorang yang Senin hingga Jumat ia habiskan duduk di depan komputer sambil memencet-mencet tolls keyboar dan menggerak-gerakan pointer mause, mendaki gunung setinggi 3726 MDPL mungkin begitu sulit. Apakah lagi aku termasuk orang yang jarang olahraga. Namun, aku merasa perlu menghukum diriku.
Yah, aku hanya ingin bebas, bebas dari ketakutan. Bebas dari keteraturan hidup. Saat melihat sebuah pola muncul dalam kehidupan. Sebuah kebiasaan, maka saatnya memikirkannya. Jenius adalah soal mengetahui kapan waktunya berenti.
Aku sangat senang setiap menemukan jalan landai atau turunan. Namun kesenangan itu hanya bertahan sesaat, karena setiap ada turunan, ujungnya akan dibelas oleh tanjakan yang jaraknya jauh panjang.
“Kadang kita memilih jalan yang sulit hanya karena kita merasa hal-hal penting, kita harus ambil jalan itu,” Kibo memberi semangat.
Normalnya, pendakian dari pos ke pos hanya butuh 1 hingga 2 jam. Beberapa pos pun jaraknya tak begitu berjauhan. Tiap pos ditandai adanya gazebo sebagai tempat peristirahatan. Akan ada pedagang yang menjual aneka makanan instan hingga minuman dingin, menyambut. Dengan rama, mereka menawarkan jualannya. Terhitung mahal, namun buatku itu wajah.
Pos berapa ini? Aku duduk dipinggir jalan setapa setelah kehabisan napas menyusul. Bersama rombongan pendaki lainnya yang duduk di gazebo yang sedang membuka rokok, membakarnya dan menghembuskan asapnya ke udara terbuka, membicarakan banyak hal dan menertawakan banyak hal.
Dari perjanani itu aku belajar arti dari kata lelah. Lelah yang bisa saja membuatku memaki diri sendiri. Kenapa saya harus kesini? Apa yang kulakukan disini? Andai aku tak kesini, pasti aku lagi tidur sambil nonton film favorid di rumah.
“Tapi, jika aku tak bertanggung jawab pada hidupmu, akan ada yang merasa berhak. Orang gila adalah orang yang berbuat hal sama terus menerus tapi mengharapkan hasil berbeda setiap saat”. Kukuatkan diriku dengan kata-kata motivasi yang sering kubaca.
Hari itu udara cukup hangat dan angin berhembus menyenangkan. Sudah ada puluhan pendaki yang telah melalui aku siang itu. Bergegas perlahan menuju puncak, terengah-engah. Sesekali melempar senyum, menyemangati. Lalu berlalu dengan lambaian tangan dan teriakan, memandang dan berbicara dengan teman-teman mereka sendiri.
Turis-turis itu mengenakan baju tipis berlengan pendek, ransel menempel dipundak mereka. Penutup kepala serta kaos tangan dan kaki yang dibalut sepatu gunung menempel gagah, seolah membuktikan keseriusan membela gunung.
Pukul 2 siang, aku melewati pos 3. Pos terakhir menuju palawangan. “Palawangan masih jauh, Bang?” Tanyaku pada vorter yang tengah beristirahat. Palawangan jadi tempat kami akan mendirikan tenda sebelum menggapai puncak.
“Jaraknya sih dekat, tapi kalau adek jalannya seperti kura-kura, besok juga nda akan sampai,” katanya tertawa. Apa lagi depan sana ada bukit penyesalan. Sedapat mungkin, aku tidak boleh kena malam disitu.
Dengan mantap, langka kaki kutapakan. Langka cepat, kuupayakan. Waktu istirahat kupersingkat. Benar, saya menyesal di bukit penyesalan, tanjakannya tak pernah berakhir. Dibalik bukit, masih ada bukit.
Tanjakan lagi, lagi, lagi, lagi. Lelah dan ingin menyerah tak mungkin diambil lagi. Ini sudah terlalu jauh. Puncak! Semua demi puncak. Akan jadi cerita seru suatu hari kelak ketika aku berhasil berdiri diatas salah satu puncak tertinggi Indonesia.
Kabut pun mulai menebal saat jarak dengan palawangan makin dekat. Sinar dari langit berhasil disamarkannya. Matahari pun mulai menghilang. Jarak pandang menipis. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, kupercepat langkahku. Menyusul dua teman yang menungguku di depan.
Jalur pendakian yang mulai sepi memberiku tenaga baru. Siapa yang mau berjalan di tengah hutan seorang diri saat malam? Aku tidak perlu motivasi tinggi atau tekat kuat untuk mencoba sesuatu. Aku hanya perlu keyakinan. Yah, yakin selama langka terusku tapakan, ujung jalan akan digapai.
Seperti dugaanku, embun membawa rinai hujan yang menerobos di selah-selah pohon, tembus sampai ke bumi, membuat segalanya membeku. Jam menujukan pukul 5 lewat 15 menit. Palawangan hanya meninggalkan beberapa meter saja.
Dan tebing yang menyembunyikan danau segar anak terlewati juga. Alangkah Indahnya danau itu. Aku termenung, kagum! “Terima kasih telah membawaku kesini.”
Waktu berlalu, bulan telah siap menyapa malam. Para penimat ketinggian telah siap dengan tenda masing-masing. Tak mau menunggu lama, tenda kami dirikan. Memastikan suhu udara tak membekukan kami diperaduan. Makan malam kami siapakan, dua cangkir kopi dan secangkir teh panas hanya bertahan beberapa menit.
Suhu rinjani begitu membeku. Baju hangatku yang berlapir pun tak berkutip menahan dinginnya. Badanku menggigil. Apipun begitu sulit dinyalahkan. Tidur! Itu yang terbaik. Dini hari nanti, puncak rinjani menantiku.