Nusantara dikenal sebagai negeri yang kaya akan budaya, dan berbagai karya seni dari masing-masing daerah memperkaya keragaman ini. Di Kabupaten Bima dan Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), terdapat tradisi tenun yang menghasilkan sarung berwarna-warni indah, dikenal dengan sebutan tembe dalam bahasa Mbojo, yang merupakan suku asli Kota Bima. Yah, Rimpu dan Tembe.
Tradisi ini telah dilestarikan oleh generasi perempuan Mbojo selama puluhan tahun. Pada 5 April, seorang perempuan bernama Suharti (31) terlihat menenun tembe nggoli dengan motif kotak-kotak, memadukan dua hingga lima warna cerah.
Suharti tinggal di Desa Nata, Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima, yang merupakan salah satu desa di mana banyak perempuan masih melanjutkan tradisi menenun ini.
Menurut Suharti, “Perempuan di sini sudah terbiasa menenun sejak kecil. Setiap rumah pasti memiliki alat tenun.” Alat tenun tradisional yang digunakan adalah gedogan, di mana petenun duduk selonjor untuk mengoperasikannya. Alat ini umumnya diwariskan dari generasi ke generasi.
Bagi perempuan di desa berpenduduk sekitar 3.000 jiwa ini, menenun menjadi aktivitas sampingan di antara pekerjaan bertani. Selama masa tanam atau panen, kegiatan menenun cenderung berhenti karena mereka sibuk di sawah. Namun, saat waktu senggang tiba, suasana desa akan dipenuhi suara alat tenun.
Sebelum adanya benang pabrik, benang untuk sarung tenun ini dibuat dari kapas yang dipintal oleh perempuan Mbojo, dengan pewarnaan alami dari tumbuhan. Sarung yang dihasilkan dari proses tersebut dikenal sebagai tembe kafa na’e, yang saat ini sulit ditemukan pembuatannya.
Di sisi lain, tembe nggoli lebih mudah diproduksi, menggunakan benang katun buatan pabrik dan proses perakitan sesuai motif. Dibutuhkan waktu 3-5 hari untuk menyelesaikan satu lembar tembe nggoli, yang kemudian dijual seharga Rp 150.000 kepada pengepul di desa, memberikan keuntungan bersih sekitar Rp 75.000 per lembar.
Dalam kondisi sibuk, Suharti mampu membuat minimal empat lembar sarung dalam sebulan, menghasilkan pendapatan sekitar Rp 300.000. “Meskipun penghasilannya tidak besar, ini cukup membantu menambah pendapatan keluarga,” ujar Suharti.
Menurut Ma’ruf Efendy, pengurus Majelis Adat Dana Mbojo, tembe telah menjadi pakaian sehari-hari masyarakat sejak Kerajaan Bima mengadopsi Islam pada tahun 1640. Namun, budaya menenun sudah ada jauh sebelumnya.
Tembe nggoli merupakan perkembangan dari tembe kafa na’e yang mulai ditinggalkan sekitar tahun 1965 karena dianggap tidak praktis. Meskipun demikian, alat dan teknik menenun tetap sama hingga saat ini.
Cara pemakaian tembe nggoli juga tidak berubah selama berabad-abad. Untuk pria, tembe dikenakan dengan membelit pinggang hingga menutupi lutut, sedangkan perempuan mengenakan dua potong: satu untuk menutupi bagian bawah tubuh dan satu lagi dililitkan di kepala, yang dikenal sebagai rimpu.
Rimpu, busana khas perempuan Mbojo, dipengaruhi oleh budaya Islam untuk menutup aurat. Pada zaman dulu, gadis Mbojo sering dipingit, dan rimpu berfungsi juga sebagai pelindung dari cuaca dan pandangan laki-laki. Namun, seiring perkembangan zaman, rimpu mulai jarang dipakai, digantikan oleh jilbab modern.
Walaupun demikian, produksi tembe nggoli masih berlanjut, dan sarung ini tetap diminati untuk keperluan sehari-hari maupun ibadah. Tembe nggoli sering dipadukan dengan busana lain, seperti rok atau selendang.
Nur Aini, seorang pengepul di Desa Nata, mengungkapkan bahwa dalam sebulan ia dapat menjual antara 100 hingga 200 potong tembe nggoli. Penjualan sarung ini meliputi wilayah Bima, Dompu, hingga Kabupaten Sumbawa, dan stoknya sering kali cepat habis, terutama saat musim panen.
Di desa sentra produksi dan penjualan tembe nggoli di Desa Ranggo, Kecamatan Pajo, Kabupaten Dompu, Hajrah, pemilik usaha, juga menjual antara 70 hingga 100 potong per bulan dengan omzet mencapai Rp 15 juta hingga Rp 20 juta.
Pemerintah daerah berupaya meningkatkan pemakaian busana tradisional berbasis tembe nggoli, seperti saat menggelar pawai budaya kolosal yang diikuti lebih dari 13.000 perempuan yang mengenakan rimpu. Kegiatan ini merupakan bagian dari perayaan dua abad letusan Gunung Tambora, yang memiliki keterkaitan erat dengan budaya Mbojo dan keberadaan tembe.