Dampak Perburuan Rempah
Diktuf dari indonesia.go.id. Perburuan rempah telah mengantarkan pelaut Portugis masuk Nusantara pada abad 16. Tujuan utama mereka adalah Kepulauan Maluku, yang merupakan rumah bagi tanaman rempah primadona yaitu cengkeh dan pala.
La Ode Yusri mengatakan, para pelaut Portugis mula-mula melintasi jalur utara, lewat Pulau Mindanao, Filipina. Namun, lantaran banyak aksi perompak, Portugis mengalihkan rute pelayaran ke selatan. Mereka pun menemukan Pulau Buton dan dijadikan persinggahan bagi pelaut Portugis saat menuju ke Maluku.
Selama berlabuh, mereka mengisi perbekalan serta menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Buton. Cerita itu termuat dalam naskah kuno Buton, Kanturuna Mohelana (Pelitanya Orang Berlayar).
Namun dalam naskah lawas tersebut tak mencantumkan tarikh kedatangan orang Portugis di Buton. Yusri menaksir, interaksi Buton-Portugis terjadi antara tahun 1500 sampai 1600-an, sebelum Belanda masuk. Dalam Kanturuna Mohelana diceritakan interaksi dengan Portugis berlangsung sampai datangnya orang Eropa lain (Belanda).
Bila taksiran itu betul, maka para pelaut Portugis berinteraksi dengan tiga sultan Buton, Murhum atau Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis (1491-1537), La Tumparasi atau Sultan Kaimuddin (1545-1552), dan La Sangaji (1566-1570).
Mata biru merupakan ciri anak-anak hasil perkawinan silang Buton-Portugis. Contohnya perkawinan antara Felengkonele, seorang pemimpin armada Portugis, dengan salah seorang putri bangsawan Buton.
Ketika Belanda menguasai Buton, mereka melancarkan propaganda dan fitnah (devide et impera) terhadap keturunan Portugis, yang mereka sebut pengkhianat. Itu sesuai kepentingan Belanda yang menganggap Portugis sebagai saingan dalam berebut pengaruh di Kesultanan Buton.
Propaganda itu berdampak kepada anak-anak hasil perkawinan Buton-Portugis. Mereka pun memilih menyingkir ke beberapa wilayah, seperti Liya di Kabupaten Wakatobi, Ambon, hingga Malaysia.
Stigma penjajah Belanda terus membekas pada komunitas bermata biru di Siompu selama berpuluh tahun. Mereka semakin menutup diri dan membatasi komunikasi dengan orang asing dan menghindari keramaian.
Para pemilik mata biru pun menjauh dan membangun tempat tinggal termasuk di wilayah perbukitan Kaimbulawa. Kondisi ini pun sempat membuat Yusrie kesulitan berinteraksi dengan warga bermata biru ketika penelitian dilakukan.
Namun, berkat hasil penelitian warga bermata biru di Siompu oleh Yusrie dan disebarluaskan di media sosial dan sempat menjadi viral, telah membuka mata warga dunia maya bahwa komunitas mata biru tak hanya ada di Lamno, tetapi juga di Siompu.
Penduduk bermata biru tersisa saat ini, tak lebih dari 10 orang, perlahan membuka diri. La Dala dan sejumlah warga Siompu bermata biru pun kini mulai sering diundang dalam acara-acara di lingkungan Kesultanan Buton. Bahkan dalam sebuah pertemuan, dengan nada bergurau Bupati Buton Selatan La Ode Arusani kepada La Dala mengatakan bahwa dirinya adalah aset yang harus dijaga karena matanya. */indonesia.go.id