Di tengah masyarakat adat Nagekeo, terdapat sebuah simbol yang sederhana namun penuh makna, yaitu “Peo.” Berbentuk tiang kayu bercabang, Peo tidak hanya sekadar benda mati, tetapi merupakan lambang kesatuan dan kemandirian dari masyarakat adat tersebut.
Peo memiliki arti dasar mengelilingi atau mengitari. Di kalangan masyarakat Keo, ungkapan “Peo Pu Tungga Woe Ha Nggae” menggambarkan harapan dan pusat perhatian yang berputar pada satu titik atau individu. Keberadaan Peo menjadi pusat dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat, di mana segala aktivitas dan harapan bermuara.
Bangunan Peo yang sederhana terdiri dari sebuah tiang kayu bercabang dua, sering kali terbuat dari kayu embu yang memiliki ciri khas bunga kuning dan buah polong berkulit hitam.
Jenis kayu ini dipilih karena kemampuannya tumbuh di lahan kritis, melambangkan ketahanan dan daya hidup yang tinggi. Di atas cabang Peo, biasanya ditempatkan patung burung, menandakan kekuatan dan kemampuan merangkul berbagai elemen yang ada di sekitar.
Seiring perjalanan waktu, Peo dan tempat ritual lain yang disebut Enda, kini disatukan dalam satu bangunan. Enda awalnya merupakan tempat pemujaan leluhur yang dibuat sebagai rumah terpisah dengan patung kuda menonjol sebagai simbol kekuatan.
Peo dan Enda kini berada dalam satu struktur, seperti yang terlihat di kampung Kayo, Maukeli, Kecamatan Mauponggo, menunjukkan adaptasi terhadap perkembangan zaman.
Kehidupan di sekitar Peo tidak terlepas dari pertalian kekeluargaan. Perkampungan adat yang dibangun mengikuti struktur bergaris besar segi empat, memudahkan pembagian wilayah dan pembentukan komunitas yang terorganisir.
Oleh karena itu, pertumbuhan keluarga dan desa baru selalu selaras, dengan menggunakan istilah “Boa” atau kampung baru, sebagai tanda perkembangan dan kemandirian kelompok masyarakat Nagekeo.
Ketika masyarakat mulai mendirikan kampung baru, mereka secara perlahan menyatakan kemandiriannya dengan membangun Peo sebagai tanda keberadaan dan kedaulatan adat.
Sistem pemerintahan adat yang terbentuk mencerminkan pengetahuan dan kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Peraturan adat tidak tertulis tetapi diterapkan sesuai kebutuhan dan diterima masyarakat adat dengan mengedepankan musyawarah bersama.
Di pesisir selatan Nagekeo, Peo menjadi simbol kuat bagi masyarakat Kayo. Dahulu dihuni oleh orang Bengga, kampung ini berkembang dan merasakan pentingnya mengukuhkan kemandirian mereka melalui Peo. Peo menjadi bukti kedaulatan hukum adat dan memperkuat posisi mereka dalam menyusun kehidupan berkelompok secara mandiri.
Peo bukan hanya sekadar monumen sederhana dari sebatang kayu, tetapi ia mengandung nilai budaya dan spiritual yang mendalam bagi masyarakat adat Nagekeo. Simbol ini mengingatkan akan pentingnya persatuan, kemandirian, dan penghargaan terhadap tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.