Kata Ngeuyeuk Seureuh berasal dari bahasa sunda ‘ngaheuyeuk’ yang berarti mengolah. Upacara ini dilakukan untuk meminta restu kepada orang tua kedua calon pengantin di rumah pihak wanita.
Biasanya upacara ini dilakukan satu hari sebelum akad nikah, dan bersamaan dengan prosesi seserahan. Upacara ini juga dipenuhi dengan nasehat berumah tangga dan tidak jarang mengandung edukasi seks.
Upacara dipimpin oleh seorang Nini Pangeuyeuk, atau wanita yang telah paham akan upacara ini dan seringkali juga merupakan juru rias adat Sunda. Tidak semua orang boleh hadir dalam upacara ini, hanya calon pengantin, keluarga terdekat dan orang tua yang memiliki peran khusus.
Tak hanya itu, seorang gadis, anak remaja yang belum mengalami pubertas, dan wanita dewasa yang belum pernah menikah juga tidak diizinkan menghadiri upacara ini.
Melalui ritual ini, calon pengantin diharapkan dapat mewujudkan filosofi ‘Kawas Gula Jeung Peuet’ yang secara harfiah berarti ‘bagaikan gula dengan nira yang sudah matang’. Peribahasa ini menggambarkan hidup yang rukun, saling menyayangi dan sebisa mungkin menghindari perselisihan.
Untuk lebih jelasnya, berikut langkah-langkah upacara Ngeuyeuk Seureuh dan makna yang terkandung di dalamnya: Untuk memulai upacara ini, nini pangeuyeuk akan memberikan tujuh helai benang kanteh (benang tenun) sepanjang dua jengkal kepada kedua calon pengantin.
Kedua calon pengantin kemudian saling memegang ujung benang sebagai tanda cinta kasih sambil duduk menghadap orang tua untuk meminta doa restu. Setelah mendapat ijin dan restu, orang tua akan memotong benang yang dipegang oleh kedua calon pengantin sebagai tanda bahwa upacara akan dimulai.
Nini Pangeuyeuk kemudian akan membawakan kidung atau syair yang berisi permohonan dan doa kepada Tuhan sambil menaburkan beras kepada kedua calon pengantin, yang melambangkan hidup sejahtera bagi keduanya.
Kedua calon pengantin kemudian ‘dikeprak’ atau dipukul secara pelan dengan sapu lidi, sambil diberikan nasehat terkait hidup berumah tangga. Hal ini ditujukan agar mereka bisa memupuk kasih sayang antara satu sama lain dan mau bekerja keras demi kesejahteraan keluarga.
Kain putih yang menutupi ‘pangeuyeukan’ kemudian dibuka, melambangkan rumah tangga yang dimulai tanpa cela. Kedua calon pengantin lalu mengangkat dua buah pakaian di atas kain pelekat (sarung), yang melambangkan kerja sama suami dan istri dalam mengelola rumah tangga.