Di antara lembah-lembah hijau dan pegunungan cadas Enrekang, Sulawesi Selatan, tersimpan sebuah kuliner klasik yang sarat makna sejarah dan rasa: nande kandoa.
Makanan ini tidak hadir setiap hari—ia muncul hanya di momen-momen istimewa, menjadi bagian dari ritual dan perayaan masyarakat pegunungan yang menjaga tradisi turun-temurun.
Jejak Kesederhanaan di Balik Nasi dan Singkong
Dalam bahasa masyarakat Enrekang, nande berarti nasi, sedangkan kandoa berarti singkong. Dahulu, nande kandoaa lahir dari keterbatasan: ketika beras menjadi barang mewah, masyarakat memadukannya dengan singkong—bahan pangan yang melimpah di tanah Massenrempulu.
Dari perpaduan dua bahan sederhana itu, tercipta makanan pokok yang bukan hanya mengenyangkan, tapi juga menjadi simbol keteguhan dan kreativitas masyarakat pedesaan.
Disajikan Bersama Camme Tuttu
“Kalau makan nande kandoa, rasanya tidak lengkap tanpa camme tuttu,” tutur salah satu warga Desa Tokkonan sambil tersenyum.
Camme tuttu adalah lauk pendamping berupa sambal khas Enrekang yang dibuat dari cabai, garam, dan rempah-rempah pilihan. Rasa pedasnya berpadu sempurna dengan gurih dan lembutnya singkong dalam nande kandoaa.
Di Mana Menikmati
Untuk mencicipi nande kandoa dalam suasana yang autentik, datanglah ke desa-desa adat di sekitar Kecamatan Enrekang dan Cendana, terutama saat berlangsungnya pesta rakyat atau upacara adat seperti Maccera’ Manurung.
Di momen-momen seperti itu, aroma nasi dan singkong yang dikukus bersama menyatu dengan tawa dan doa warga, menghadirkan pengalaman kuliner yang jauh lebih dalam dari sekadar rasa—ia adalah kisah tentang ketahanan, warisan, dan kebersamaan.


