Berdiri di wilayah Kabupaten Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah, Palava merupakan wujud arsitektur tradisional suku Kaili yang kini menghadapi ancaman kepunahan.
Rumah adat Palava telah lama memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat Kaili, memberikan bukan hanya tempat berlindung tetapi juga simbol identitas budaya. Namun, perkembangan zaman dan kebutuhan praktis telah mendorong perubahan drastis dalam desain dan fungsi bangunan, mengarah pada adopsi arsitektur modern yang mengancam hilangnya bentuk asli Palava.
Sebelum membangun rumah Palava, masyarakat Kaili mengikuti serangkaian prosesi adat yang dimulai dengan musyawarah keluarga. Diskusi ini penting untuk memastikan bahwa tanah tempat rumah akan dibangun bukan bagian dari sengketa, mengingat keyakinan bahwa bangunan di atas tanah sengketa dapat mendatangkan bencana.
Proses berikutnya melibatkan upacara adat yang dipimpin oleh seorang Sando. Dengan memasukkan ujung lidi atau parang ke dalam tanah sambil mengucapkan mantra, Sando menentukan kelayakan tanah tersebut. Jika dianggap memenuhi syarat, pembangunan bisa dilanjutkan.
Setelah lokasi dipastikan, diskusi berikutnya adalah menentukan waktu yang tepat untuk memulai pembangunan. Ini biasanya ditentukan oleh seorang Pande, atau tukang kayu, yang ahli dalam menentukan hari baik dan buruk melalui ilmu Kutika. Pemilik rumah sangat mematuhi ketentuan ini untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan keluarga mereka.
Sebagai hasil dari perubahan ekonomi dan sosial, banyak keluarga memilih desain yang lebih modern, sedikit demi sedikit meninggalkan adat istiadat leluhur. Namun, bagi beberapa orang, tradisi ini masih dipegang erat sebagai bagian penting dari identitas budaya.
Kini, Palava dihadapkan pada tantangan besar untuk tetap bertahan di tengah arus modernisasi. Pelestarian tradisi ini memerlukan perhatian dan upaya serius dari semua pihak agar warisan budaya suku Kaili tidak hilang begitu saja.