Mantaa duku’ adalah pembagian daging (secara mentah) kepada masyarakat dalam lingkungan pelaksanaan ritual, khususnya pada upacara rambu solo’ (upacara kematian). Aspek religius dari ritual mantaa duku’ ini mulai berkembang sejak kedatangan To
Manurun sejak abad ke-13 yang turut mempengaruhi aluk, antara lain didefinisikannya kekuatan supernatural yang membawa rasa takut dalam diri orang Toraja sebagai kekuatan ilahi yang bersumber dari dewa-dewa dan arwah leluhur.
Dari sinilah nama Puang Matua, Gaun Tikembong, Pong Banggai Rante, Pong Tulak Padang dan To Membali Puang di kenal. Karena pengaruh To Manurun ini pulalah penyembahan dan pemujaan itu diekspresikan melalui ritual kurban yang dilakukan dengan memberikan apa yang manusia miliki sebagai penunjang kehidupannya yaitu manusia (keturunannya), hewan dan tumbuhan.
Bagi penganut Aluk To Dolo, mantaa duku’ memiliki aspek religius dan sosial, yaitu penyembahan kepada dewa dan aspek sosial, yaitu berbagi milik, berbagi kehidupan, semangat kebersamaan, solidaritas komunitas dan persatuan kekeluargaan.
Prosesi mantaa ini dilakukan di halaman tempat upacara digelar, dan dilakukan secara berurut-urutan berdasarkan status sosial, peran dalam masyarakat serta umur sebagai patokanannya.
Sebab itulah, tugas mantaa adalah tugas yang sangat berat. Karena itu, hanya tetua adat yang bisa melakukannya untuk menghindari terjadinya kesalahan pembagian. Upacara mantaa duku’ yang merupakan warisan Aluk To Dolo ini masih dipertahankan sampai sekarang oleh sebagian besar masyarakat Toraja.
Memang sampai saat ini, penganut Aluk To Dolo di Toraja semakin sedikit jumlahnya, baik di Tana Toraja maupun Toraja Utara. Sebagian besar masyarakat Toraja telah menganut agama Kristen dan agama lain.
Namun upacara mantaa duku’ masih dijalankan dan dalam pelaksanaannya, hampir semua mekanisme dan regulasi dalam Aluk To Dolo masih dipertahankan, kecuali bahwa aspek religiusnya mengalami perubahan.
Dilihat dari jumlah daging yang dibagi makin banyak karena makin banyaknya korban hewan dalam sebuah gelaran upacara rambu solo’. Masyarakat Kristen yang masih tetap mempratikkan mantaa duku’ ini tidak lagi memahami sebagai ritual untuk jamuan makan bersama dengan dewa-dewa tetapi sebagai pelayanan (berbagi), penghargaan atau penghormatan kepada masyarakat oleh yang empunya hajatan.
Dalam percakapan penulis dengan beberapa informan, hampir semua informan berpendapat bahwa maksud dari mantaa duku’ adalah pelayanan (berbagi) dan penghargaan atau penghormatan kepada masyarakat yang ada dalam lingkungan tempat pelaksanaan ritual.
Pelayanan (berbagi) dan penghargaan/penghormatan itu disimbolkan dalam bentuk bagian tubuh kerbau yang dibagi-bagikan. Menarik untuk distudi bahwa jika mantaa duku’ dimaksudkan sebagai pelayanan (berbagi) kepada masyarakat maka seharusnya ritual mantaa duku’ ini tidak menjadi sumber berbagai konflik.
Jika nilai luhur asli yang mendasari ritual mantaa duku’ ialah kerelaan berbagi milik dan kehidupan serta penghargaan/penghormatan kepada masyarakat, maka seharusnya ritual mantaa duku’ ini menjadi perekat harmonisasi dalam masyarakat dan tidak perlu menimbulkan banyak masalah.
Tetapi kenyataannya di banyak tempat ritual mantaa duku’ justru telah menjadi wadah ungkapan perpecahan.