Di antara gulungan ombak Pasifik yang lembut, Pulau Biak berdiri seperti batu karang tua yang menyimpan cerita panjang manusia dan laut. Di sana, perdagangan bukan hanya tentang menukar barang—tetapi juga menukar kepercayaan. Di antara suara perahu dayung yang mengayuh pelan dan bau garam yang melekat di kulit, masyarakat Biak mengenal satu sistem yang mengikat lebih dari sekadar ekonomi: manibob.
Sebuah kata yang sederhana, namun sarat makna. Manibob adalah sistem rekanan dagang yang tumbuh dari kebiasaan barter masyarakat Biak di masa lalu. Ia lahir dari interaksi, berkembang dari rasa saling percaya, dan bertahan karena nilai kemanusiaannya.
Jejak Kehidupan di Tanah Biak Numfor
Jauh sebelum uang menjadi alat tukar universal, masyarakat Biak Numfor hidup berdampingan dengan laut dan tanahnya. Di pesisir, para nelayan berlayar mengikuti arus, menebar jala di perairan yang jernih. Di pedalaman, para petani berpindah ladang, menanam dan menuai sesuai musim yang ditentukan alam.
Namun, di antara aktivitas itu, mereka tidak hidup terpisah. Hasil tangkapan dan panen selalu mencari jalan untuk ditukar. Dari sinilah sistem barter lahir—sebuah mekanisme sederhana untuk saling memenuhi kebutuhan. Tapi di tangan orang Biak, barter bukan hanya soal nilai tukar. Ia berkembang menjadi sistem sosial yang lebih dalam: manibob.
Dari Tukar Barang Menjadi Ikatan Jiwa
Dalam manibob, dua orang dari daerah berbeda membangun hubungan yang didasari rasa saling percaya. Salah satu pihak memberi apa yang dibutuhkan tanpa meminta balasan langsung. Sebagai gantinya, pihak lain berjanji akan membantu di masa depan ketika diperlukan.
Tidak ada kertas, tidak ada tanda tangan. Yang ada hanyalah kata dan kehormatan. Di masyarakat Biak, janji adalah hukum tertinggi—dan melanggarnya berarti mencederai nama baik keluarga dan leluhur. Karena itu, manibob tidak pernah gagal dijaga.
Seiring berjalannya waktu, hubungan dagang ini sering bertransformasi menjadi persaudaraan. Dua keluarga yang terikat manibob bisa saling menikahkan anak-anak mereka, memperkuat ikatan yang bermula dari perniagaan menjadi tali kekeluargaan.
Pengetahuan yang Mengalir Bersama Ombak
Melalui jaringan manibob, masyarakat Biak tak hanya bertukar barang, tetapi juga pengetahuan. Dari para pedagang Maluku, mereka belajar mengolah besi—membangun alat kerja, senjata, dan perkakas yang kelak memperkuat perekonomian lokal. Mereka juga belajar membaca arah angin, mengenali posisi bintang, dan memahami ritme arus laut.
Pengetahuan ini menyeberang dari satu pulau ke pulau lain, dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa buku dan tulisan—hanya lewat kepercayaan dan cerita. Dalam arti tertentu, manibob menjadi jalur transmisi ilmu yang menjaga masyarakat Biak tetap terhubung dengan dunia luar tanpa kehilangan jati dirinya.
Lebih dari Sekadar Sistem Dagang
Kini, ketika uang dan transaksi digital mendominasi kehidupan modern, nilai-nilai manibob seolah menjadi gema dari masa lalu. Namun di beberapa wilayah Biak, semangatnya masih bertahan. Dalam senyum tulus antara dua keluarga, dalam sapaan lembut di dermaga, dalam cara mereka saling menolong tanpa pamrih—manibob hidup di antara napas sehari-hari.
Manibob mengajarkan satu hal sederhana yang sering kita lupakan: bahwa perdagangan sejatinya adalah bentuk tertinggi dari kepercayaan antar manusia. Di ujung dunia yang dikelilingi laut, orang Biak menemukan cara untuk menukar bukan hanya barang, tapi juga kehangatan dan kemanusiaan.


