Di jantung Sulawesi Selatan, di antara semilir angin yang membawa harum murbei dan desir tenunan yang lirih seperti doa, terlahir sebuah wastra yang tak hanya membalut tubuh, tetapi juga membalut jiwa. Namanya Lipa’ Sabbe—sebuah sarung tenun sutra Bugis yang tak sekadar kain, tapi warisan leluhur yang dihembuskan dari benang ke benang dengan kasih dan kesabaran.
Di tanah Sengkang, Kabupaten Wajo, Lipa’ Sabbe bukan hanya barang dagangan. Ia adalah nyanyian turun-temurun, dialirkan melalui tangan-tangan perempuan yang menganyam harapan dan cinta pada setiap simpul benang. Di kota yang dijuluki “Kota Sutera” ini, keterampilan menenun diwariskan seperti pusaka, dan setiap rumah bisa menjadi tempat kelahiran mahakarya.
Nama Lipa’ Sabbe berasal dari bahasa Bugis, berarti “sarung sutra”. Namun maknanya jauh lebih dalam dari sekadar arti harfiah. Dalam setiap Lipa’, tersimpan identitas, status sosial, bahkan cerita tentang siapa yang mengenakannya.
Bagi lelaki Bugis, sarung ini dikenakan dengan jas tutup, menambah wibawa dan keanggunan dalam setiap langkah. Sedangkan bagi perempuan, Lipa’ Sabbe melengkapi baju bodo—busana adat yang transparan dan anggun, di mana ujung sarung dibiarkan menjuntai, dipegang lembut oleh tangan kiri sebagai simbol kelembutan dan keteguhan.
Pada pertunjukan tari tradisional, Lipa’ Sabbe digulung dan disimpulkan di punggung menyerupai kipas. Sebuah gerakan kecil, namun sarat makna. Seolah para penari menari membawa ingatan kolektif tentang tanah, air, dan langit yang pernah menjadi saksi kelahiran kain ini.
Kain ini tak lahir begitu saja. Ia tumbuh bersama alam. Dulu, benang sutra didatangkan dari jauh. Kini, masyarakat Sengkang menumbuhkan ulat sutra sendiri di halaman rumah mereka. Murbei ditanam dengan penuh kasih, karena daunnya menjadi makanan utama ulat yang akan menenun takdir mereka. Dari kokon yang mungil itu, benang kehidupan ditarik, dipintal, dan ditenun dengan cinta.
Ada dua cara menenun Lipa’ Sabbe. Yang pertama adalah dengan alat tenun gedogan, yang mengharuskan penenun duduk dan meluruskan kaki ke depan. Yang kedua menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), di mana kaki harus menginjak pedal kayu silih berganti, seperti irama yang menjaga tempo hidup. Butuh waktu 3 hingga 7 hari untuk menyelesaikan satu lembar sarung, tergantung kerumitan motif dan kedalaman makna yang ingin disampaikan.
Motif-motifnya pun berbicara. Balo renni, motif kotak-kotak kecil berwarna cerah, menyiratkan semangat dan keceriaan. Sedangkan balo lobang, kotak-kotak besar dengan rona merah hingga keemasan, melambangkan kebesaran, keberanian, dan kejayaan. Kini, seiring waktu, lahirlah motif-motif baru. Namun, jiwa Lipa’ Sabbe tetap sama: ia tak pernah meninggalkan akar.
Lebih dari selembar kain, Lipa’ Sabbe adalah penjelmaan keanggunan Bugis yang tidak lekang oleh waktu. Setiap helainya adalah nyanyian bisu tentang ketekunan, estetika, dan spiritualitas. Ia bisa membungkus tubuh, tapi sejatinya membalut warisan dan harapan.
Ketika Travelers berkunjung ke Sengkang, dan melihat para perempuan menenun dengan mata yang khusyuk dan jari-jari yang menari, ketahuilah: mereka sedang berdoa. Doa yang tidak diucapkan dengan kata-kata, tapi ditanam dalam helai-helai benang, agar setiap Lipa’ Sabbe yang mereka ciptakan bisa menyentuh dunia, namun tetap membawa rumah dalam setiap motifnya.