Liang Tedong-Tedong Minanga, Warisan Zaman Kayu Uru

Terletak di pinggir bukit yang seolah menjadi stasiun penghubung antara dunia nyata dan dunia roh, pemakaman ini bukan sekadar situs arkeologis, melainkan laboratorium waktu. Di dalamnya, kayu uru—yang disebut sebagai "nenek kayu" oleh masyarakat Mamasa—menyimpan tubuh dan jiwa para leluhur dalam bentuk rumah miniatur, menyerupai kerbau dan perahu: dua entitas yang dipercaya sebagai kendaraan jiwa menuju cakrawala kematian.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Dalam sebuah lintasan waktu yang terbungkus kabut lembut di antara bukit dan sawah Mamasa, berdiri senyap sebuah kompleks pemakaman purba. Terletak 4 kilometer sebelum Kampung Ballapeu’, kira-kira 50 meter di barat jalan setapak, Liang Tedong-Tedong Minanga mengintip dari balik pepohonan di lereng bukit. Dari arah utara, terbentang hamparan sawah yang tampak seperti pola kode genetik kuno dalam lanskap hijau yang tertata alami—barangkali bukan kebetulan semata.

Struktur pemakaman ini seolah berasal dari era di mana kayu berbicara dan batu menyimpan ingatan. Peti-peti kayu berbentuk rumah adat Mamasa, menyerupai tedong (kerbau) dan bangka (perahu), bukan hanya simbol, melainkan sebuah peradaban yang mengabadikan jiwa dalam bentuk rupa.

Terbuat dari kayu uru, kayu primadona yang dalam budaya Mamasa dianggap sebagai nenek dari semua kayu bangunan, makam-makam ini telah bertahan selama 600 tahun, menantang waktu seperti artefak dari dimensi lain.

- Advertisement -
Liang Tedong-Tedong Minanga
Liang Tedong-Tedong Minanga

Para peneliti spiritual dan arkeolog budaya percaya bahwa para leluhur telah menyelaraskan orientasi makam ini dengan matahari tenggelam—ke arah Barat, ke mana jiwa menuju setelah menyelesaikan siklusnya. Dari kampung Dambu, tempat asal kuburan pertama, arah itu disebut sau’ Minanga—arah tanpa kampung, ke sunyi, ke akhir, atau barangkali ke awal yang baru.

Ada sebelas makam berbentuk tedong, masing-masing sepanjang tiga meter, lebar satu meter, dan tinggi satu setengah meter. Sementara makam duba-duba—berbentuk silinder panjang yang bagian dalamnya dipahat rapi—berjumlah tujuh, berdiri setia di antara rekannya, dengan dimensi sekitar 2,8 meter panjangnya dan tinggi satu meter. Jika dikodekan, mungkin mereka menyimpan data DNA sosial masyarakat Mamasa masa silam.

Nama “Minanga” sendiri diambil dari petikan sastra lisan Toraja Mamasa, semacam manuskrip sonik yang turun dari para tetua melalui ungkapan:
“Anna tirempun motau, mangka mepare, dipatantu allo pa’bulan-liangan, sapo randan dipawindi, sau’ Minanga, umbayai tedong-tedong sola Bangka-bangkana tomatua.”
Dari sini lahirlah nama: Liang Tedong-Tedong Minanga.

- Advertisement -
Liang Tedong-Tedong Minanga
Liang Tedong-Tedong Minanga

Mereka yang dimakamkan di sana tak sembarangan. Jejak digital dan lisan dari tahun 1998, hasil wawancara J. Demmangapi’ oleh dua peneliti budaya, mencatat nama-nama seperti Pua’ Bonggapasilong, Pua’ Karua, Papa’ M Bontik, hingga Ambe’ P Upo—pemimpin, penata hukum adat, dan pengurus spiritual masyarakat. Nama-nama yang kini hanya bisa diakses melalui frekuensi kenangan dan narasi rakyat.

Baca Juga :  Hadok, Pertandingan Tinju Tradisional ala Lembata Bentuk Rasa Syukur

Ada pula legenda penjaga: seekor ula’ balu hitam dan lebah penyengat yang dianggap entitas pelindung. Beberapa warga bersaksi bahwa hewan-hewan itu keluar memburu apapun yang mendekat, seakan menjaga portal dimensi antara dunia dan alam arwah.

Namun tak semua bagian cerita ini tersimpan di satu tempat. Dikisahkan bahwa dahulu, terjadi banjir besar yang menghanyutkan 19 makam kayu dari lokasi asal di kampung Dambu. Satu makam terbawa hingga kampung Messawa dan terdampar di tepi sungai Mamasa, tempat yang kini dikenal sebagai Rante Balla. Sedangkan 18 lainnya tersangkut di sungai kecil bernama Sariayo.

- Advertisement -

Ajaibnya, ketika pria-pria kampung mencoba mengangkat kembali makam-makam itu, mereka gagal. Barulah ketika para perempuan turun tangan dengan mengikatnya menggunakan pucuk daun enau (pusuk daun induk), makam-makam itu menjadi ringan. Sebuah cerita yang mengisyaratkan bahwa kekuatan feminin di Balla bukan sekadar sosial—melainkan kosmis. Merekalah penjaga seimbang antara dunia dan roh.

Liang Tedong-Tedong Minanga
Lokasi Liang

Kini, perlindungan modern dari Balai Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan sejak tahun 1980-an telah menaungi situs ini. Namun esensi magis dan auranya tetap sama—liar, sakral, penuh misteri.

Jika kamu hendak mengunjungi tempat ini, lakukanlah saat pagi. Cahaya matahari dari Timur menyentuh sisi makam yang menghadap dunia kita. Saat sore tiba, bukit dan pohon akan mengunci cahaya, dan waktu akan berjalan lebih lambat—seolah memberimu isyarat: jangan berlama-lama di gerbang dua dunia.