Di antara perbukitan bergelombang dan sabana luas yang berwarna keemasan saat matahari jatuh ke ufuk barat, Sumba memperlihatkan salah satu wajah terindahnya. Pemandangan yang sering menghiasi feed media sosial ini bukan hanya tentang alam yang memesona, tapi juga tentang sosok-sosok gagah yang berlari melintasi padang — kuda-kuda Sandelwood, kebanggaan Sumba. Kuda Sandel.
Kuda Sandel, atau yang lebih dikenal sebagai sandalwood horse, bukan sekadar hewan di tanah ini. Ia adalah bagian dari jiwa masyarakat Sumba. Dengan tubuh mungil — rata-rata tingginya di bawah 150 cm — kuda-kuda ini berdiri kokoh dengan kaki dan kuku kuat, lingkar leher besar, serta daya tahan luar biasa. Warna-warnanya pun beragam, dari hitam, putih, belang, hingga palet warna lain yang memperkaya pemandangan sabana.
Nama “sandelwood” sendiri mengingatkan pada masa lampau. Pada zaman kolonial, Sumba dikenal dunia sebagai penghasil kayu cendana terbaik. Seiring berjalannya waktu, kuda-kuda kecil ini pun menjadi komoditas perdagangan, sejajar dengan kayu harum itu. Demi mempermudah pemasaran, para pedagang kolonial memberi cap ‘sandalwood horse’ — sebuah nama yang kemudian melekat hingga kini.
Lihat postingan ini di Instagram
Namun, di luar nilai dagangnya, kuda Sandel memegang tempat terhormat dalam kehidupan masyarakat Sumba. Sejak zaman nenek moyang, mereka menjadi sahabat setia dalam keseharian: sebagai tunggangan harian, kendaraan berburu, bahkan alat perang. Dalam tradisi perkawinan, kuda menjadi bagian penting dari belis — mahar yang diserahkan keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan, bersanding dengan mamuli, perhiasan simbol kesuburan.
Dalam upacara-upacara adat seperti pasola, peran kuda bahkan lebih sakral. Ia menjadi perantara antara manusia dan kekuatan leluhur, melintasi batas dunia nyata dan dunia roh.
Ada satu ungkapan adat Sumba yang menegaskan kedekatan itu: Ndara ole ura, bangga ole ndewa — “kuda adalah kawan segaris urat tangan, anjing adalah kawan sejiwa.” Di mata orang Sumba, kuda bukan sekadar hewan piaraan; ia adalah saudara seperjalanan. Karena itulah, memakan daging kuda dianggap tabu, bahkan dipercaya bisa mendatangkan malapetaka, terutama bagi mereka yang masih memeluk kepercayaan Marapu.
Kehadiran Belanda di tanah Sumba membawa perubahan lain: pacuan kuda. Awalnya, pacuan diselenggarakan hanya saat hari-hari besar kolonial. Kini, pacuan kuda telah menjadi bagian dari tradisi lokal, digemari banyak kalangan sebagai ajang unjuk kebolehan, rekreasi, sekaligus sarana mempererat persahabatan.
Tradisi ini mendorong masyarakat Sumba untuk terus meningkatkan mutu kuda mereka — memperbaiki postur, mempercepat laju, memperkuat daya tahan. Sejarah mencatat bahwa upaya perbaikan ini sudah dimulai sejak abad ke-18, ketika kuda Sumba dikawinkan silang dengan kuda-kuda Arab yang dibawa para saudagar.
Hari ini, kuda Sandel tetap berlari — bukan lagi sekadar di medan perang atau berburu, tapi di pentas budaya dan pariwisata. Lewat acara seperti pacuan kuda atau Parade 1001 Kuda Sandelwood di Sumba Barat, pemerintah daerah menghidupkan kembali kebanggaan atas warisan ini, mengajak dunia untuk mengenal karakter tangguh dan pesona khas kuda Sandel.
Di balik sorot kamera para wisatawan dan gemuruh sorak penonton pacuan, satu hal tetap nyata: bagi orang Sumba, kuda Sandel adalah bagian dari darah dan tanah mereka. Selama kuda itu berlari di sabana, selama itu pula cerita Sumba akan terus hidup — mengalir dalam debu, angin, dan napas para pewarisnya.